REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta kepada seluruh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menghindari terjadinya modus-modus korupsi anggaran proyek konstruksi. Hal tersebut terkait ditetapkannya dua tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek fiktif pada PT Waskita Karya (Persero) Tbk.
"KPK mengingatkan kembali kepada seluruh BUMN dan pelaku usaha lainnya agar menerapkan secara ketat prinsip-prinsip 'good corporate governance' untuk menghindari terjadinya modus-modus korupsi anggaran proyek konstruksi seperti dalam kasus ini ataupun perkara lain yang pernah diungkap KPK," kata Ketua KPK Agus Rahardjo saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Senin (17/12).
Agus menyatakan bahwa ketegasan dan pengawasan yang lebih kuat wajib dilakukan terhadap proyek-proyek yang terkait dengan kepentingan publik apalagi proyek besar yang dikerjakan oleh BUMN yang seharusnya lebih memiliki perspektif pelayanan ke masyarakat.
"KPK juga mengimbau kepada pihak-pihak terkait untuk melakukan audit atas kualitas proyek proyek yang berhubungan dengan pekerjaan fiktif yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan subkontraktor terkait," ujarnya.
Menurut Agus, KPK sangat menyesalkan terjadinya korupsi pada sektor infrastruktur, khususnya konstruksi sejumlah proyek-proyek penting di Indonesia. "Di tengah keinginan pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik dengan cara meningkatkan pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, bendungan dan bandara, maka korupsi yang dilakukan dalam proyek-proyek tersebut sangat merugikan masyarakat," katanya.
Fathor Rachman dan Yuly Ariandi Siregar dan kawan-kawan diduga menunjuk beberapa perusahaan subkontraktor untuk melakukan pekerjaan fiktif pada sejumlah proyek konstruksi yang dikerjakan oleh PT Waskita Karya (Persero) Tbk. "Sebagian dari pekerjaan tersebut diduga telah dikerjakan oleh perusahaan lain, namun tetap dibuat seolah-olah akan dikerjakan oleh empat perusahaan subkontraktor yang teridentifikasi sampai saat ini," kata Agus.
Diduga empat perusahaan tersebut tidak melakukan pekerjaan sebagaimana yang tertuang dalam kontrak. Atas subkontrak pekerjaan fiktif itu, kata Agus, PT Waskita Karya selanjutnya melakukan pembayaran kepada perusahaan subkontraktor tersebut.
"Namun, selanjutnya, perusahaan-perusahaan subkontraktor tersebut menyerahkan kembali uang pembayaran dari PT Waskita Karya kepada sejumlah pihak termasuk yang kemudian diduga digunakan untuk kepentingan pribadi Fathor Rachman dan Yuly Ariandi Siregar.
Dari perhitungan sementara dengan berkoordinasi bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, diduga terjadi kerugian keuangan negara setidaknya sebesar Rp186 miliar. "Perhitungan tersebut merupakan jumlah pembayaran dari PT Waskita Karya kepada perusahaan-perusahaan subkontraktor pekerjaan fiktif tersebut," kata Agus.
Diduga empat perusahaan subkontraktor tersebut mendapat pekerjaan fiktif dari sebagian proyek-proyek pembangunan jalan tol, jembatan, bandara, bendungan dan normalisasi sungai.
Ke-14 proyek itu antara lain proyek normalisasi Kali Bekasi Hilir, Bekasi (Jawa Barat), proyek Banjir Kanal Timur (BKT) Paket 22 (Jakarta), proyek Bandara Kualanamu (Sumatera Utara) dan proyek Bendungan Jati Gede, Sumedang (Jawa Barat).
Proyek normalisasi Kali Pesanggrahan Paket 1 (Jakarta), proyek PLTA Genyem (Papua) dan proyek Tol Cinere-Jagorawi (Cijago) Seksi 1 (Jawa Barat). Selanjutnya, proyek jalan layang (fly over) Tubagus Angke di Jakarta, proyek "fly over" Merak-Balaraja (Banten) dan proyek Jalan Layang Non Tol Antasari-Blok M (Paket Lapangan Mabak) di Jakarta.
Proyek "Jakarta Outer Ring Road" (JORR) seksi W 1 (Jakarta), proyek Tol Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa Paket 2 (Bali), proyek Tol Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa Paket 4 (Bali), proyek Jembatan Aji Tulur-Jejangkat, Kutai Barat (Kalimantan Timur).
Atas perbuatannya, Fathor Rachman dan Yuly Ariandi Siregar disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.