Ahad 16 Dec 2018 14:34 WIB

Harga Hunian di Jakarta Super Mahal

Pemprov DKI Jakarta dapat melibatkan BUMN atau BUMD dalam mengatasi persoalan lahan

Penjaga stan menjelaskan tentang harga rumah dan fasilitasnya kepada calon konsumen saat pameran perumahan. ilustrasi
Foto: Republika/Prayogi
Penjaga stan menjelaskan tentang harga rumah dan fasilitasnya kepada calon konsumen saat pameran perumahan. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar perkotaan dari Jakarta Property Institute (JPI) Mulya Amri mengungkap sejumlah faktor yang membuat harga hunian di Jakarta sangat tak terjangkau. Ia menjelaskan bahwa kepadatan Jakarta dipenuhi oleh rumah-rumah tapak yang tersebar dan berimpitan secara horizontal.

"Terbatasnya lahan dan rendahnya luas lantai yang boleh dibangun menjadi faktor kunci kurangnya hunian di Jakarta, sehingga harga hunian di ibu kota melambung tinggi bagi seluruh strata ekonomi," kata Mulya dalam rilis, di Jakarta, Ahad (16/12).

Menurut pakar perkotaan itu, selain itu pengurusan izin yang kompleks dan panjang juga menjadi faktor lain yang membuat hunian di tengah kota menjadi super mahal. "Berdasarkan studi JPI, pengembang harus menempuh waktu hingga 21 bulan dan mengacu pada 39 peraturan mengenai perizinan gedung untuk membangun gedung di atas delapan lantai dengan luas di atas 5.000 meter persegi di Jakarta," kata pakar yang mengantongi gelar Doktor dari National University of Singapore tersebut.

Solusinya, kata Mulya, adalah dengan mendorong lebih banyak pembangunan hunian vertikal di pusat kota dan sekitarnya dengan bantuan subsidi guna menyiasati harga tanah yang tinggi. Ia juga menjelaskan bahwa pemerintah Jakarta dapat melibatkan perusahaan milik negara atau provinsi dalam mengatasi permasalahan lahan.

"Sebagai contoh, pemerintah dapat membangun rumah susun yang layak bagi calon warga yang berpenghasilan rendah di atas pasar tradisional atau terminal," ungkapnya.

Solusi ini, lanjut dia, dapat ditawarkan kepada BUMD atau BUMN untuk mendapatkan penghasilan tambahan. "Pasar akan mendapatkan peluang bisnis lebih banyak, keluarga berpenghasilan rendah mendapatkan tempat tinggal di kota," katanya.

Untuk mewujudkan usulan-usulan di atas, Mulya menyarankan pemerintah memiliki rencana induk yang lebih visioner. Ia mengatakan bahwa rencana induk Jakarta 2030 yang telah diterbitkan di tahun 2014 tidak memiliki visi spasial jangka panjang dan proyeksinya terlalu konservatif.

Rencana tersebut mengasumsikan peningkatan jumlah penduduk Jakarta hanya 20 persen dari 10 juta menjadi 12 juta pada 2030.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement