Ahad 16 Dec 2018 08:26 WIB

Dampak Perkawinan Anak Jadi Fokus Revisi UU Perkawinan

Rahayu meyebut kemungkinan perubahan UU Perkawinan bisa dilakukan usai Pilpres

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Sejumlah siswi menunjukkan poster kampanye Gerakan Stop Perkawinan Anak. Indonesia menjadi negara dengan tingkat perkawinan anak tertinggi ke-7 di dunia.
Foto: Aditya Pradana Putra/Antara
Sejumlah siswi menunjukkan poster kampanye Gerakan Stop Perkawinan Anak. Indonesia menjadi negara dengan tingkat perkawinan anak tertinggi ke-7 di dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPP Bidang Advokasi Perempuan Partai Gerindra Rahayu Saraswati memastikan dampak yang timbul akibat tingginya angka perkawinan anak menjadi pertimbangan utama perubahan Undang-undang (UU) Perkawinan. Selain kematian ibu dan bayi, perkawinan anak juga berpotensi menghambat pembangunan. 

"Gerindra memastikan mendorong perubahan UU dengan memperhatikan angka perkawinan anak yang dampak negatifnya sangat luas mulai dari peningkatan angka KDRT sampai angka kematian ibu dan bayi," Rahayu lewat keterangan tertulisnya, Ahad (16/12). 

Baca Juga

Berdasarkan data Unicef pada 2016, perkawinan anak di Indonesia menduduki peringkat ke-7 di dunia. Sementara, data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga tahun 2015 menunjukkan perkawinan anak usia 10-15 tahun sebesar 11 persen. Sedangkan perkawinan anak usia 16 tahun hingga 18 tahun tercatat sebanyak 32 persen. 

"Perkawinan anak juga menghambat kontribusi mereka dalam pembangunan. Salah satunya adalah tidak terselenggaranya kewajiban mereka menyelesaikan sekolah 12 tahun," ujar anggota Komisi VIII DPR itu.

Gerindra mengapresiasi MK yang mendukung penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dengan mendukung perubahan UU Perkawinan tentang usia perkawinan perempuan. Gerindra juga memastikan akan membuka ruang dialog secara terbuka kepada siapapun untuk menentukan batas usia pernikahan perempuan dalam perubahan UU tersebut.

"Tapi menjadi aneh jika ada yang mendorong (batas usia pernikahan) untuk batas usia di bawah 18 tahun. Karena definisi anak menurut UU Perlindungan Anak adalah di bawah 18 tahun, sehingga akan berkesan mendukung perkawinan anak," tambahnya.

Saraswati juga menjelaskan setiap perubahan perundang-undangan menjadi tanggung jawab DPR dan pemerintah. Namun menurutnya peluang pembahasan perubahan UU Perkawinan pada periode DPR dan pemerintahan saat ini sangat kecil.

Kedua lembaga tersebut saat ini sedang fokus dalam penyelenggaraan hajatan politik pemilu legislatif dan pemilihan presiden. "Saya berharap pemenang pemilu legislatif dan presiden mendatang memiliki keinginan yang kuat (political will) untuk mendorong percepatan pembahasan perubahan UU Perkawinan ini di tahun pertama pemerintahannya nanti," tambah Rahayu. 

Sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan uji materi Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terkait batas usia perkawinan. MK menyatakan perbedaan batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan menimbulkan diskriminasi.

Pada pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan mengatur batas minimal usia perkawinan laki-laki adalah 19 tahun sementara perempuan adalah 16 tahun. MK memberi tenggat waktu tiga tahun bagi  pembuat undang-undang melakukan perubahan tentang UU Perkawinan terkait usia batas pernikahan bagi perempuan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement