REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Afrizal Rosikhul Ilmi, Ali Mansur
Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (13/12), mengabulkan sebagian gugatan uji materi UU 1/1974 tentang Perkawinan yang mengatur tentang batas usia perkawinan anak. Dalam pertimbangan putusan, disebutkan bahwa perbedaan batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan bisa menimbulkan diskriminasi.
"Mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis (13/12).
Diketahui, ketentuan tentang batas usia perkawinan sebelumnya digugat sekelompok warga negara yang merasa dirugikan dengan perbedaan batas usia laki-laki dan perempuan. Dalam pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan mengatur batas minimal usia perkawinan laki-laki adalah 19 tahun sementara perempuan adalah 16 tahun.
MK menilai beleid tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Perlindungan Anak. Dalam UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak-anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Sehingga, batas usia yang diatur dalam UU Perkawinan masih berkategori sebagai anak.
Masih dalam pertimbangan Hakim, perkawinan anak dinilai sangat mengancam dan berdampak negatif terutama pada aspek kesehatan. Selain itu, peluang terjadinya eksploitasi dan ancaman kekerasan juga lebih tinggi pada anak. Aturan tersebut juga menimbulkan perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan.
Hakim Anggota I Gede Palguna mengatakan, batas usia minimal 19 tahun yang diterapkan bagi laki-laki dinilai memberikan rentang waktu yang lebih panjang sebagai anak dibandingkan perempuan. Selain itu, perkawinan pada anak juga berdampak buruk terhadap pendidikan anak.
Bahkan berdasarkan Pasal 31 UUD 1945 tertulis setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dasar 12 tahun. Sehingga, bila seorang perempuan menikah pada usia 16 tahun, menurut hakim, mereka akan kehilangan hak pendidikan dasar 12 tahun.
Namun, sambung Palguna, MK tak bisa menentukan batas usia perkawinan yang tepat bagi perempuan. Menurutnya, hal tersebut merupakan kewenangan DPR sebagai pembentuk UU.
"Meminta pembuat UU paling lama tiga tahun untuk melakukan perubahan tentang perkawinan, khususnya berkenaan dengan batas usia minimal perempuan dalam perkawinan," ucapnya.
Koalisi 18+ menghargai putusan MK yang setidaknya mengatakan bahwa usia kawin perempuan bertentangan dengan UUD 45. MK juga dengan tegas menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.
"Tetapi kami menyayangkan beberapa hal mengenai putusan MK ini," kata kuasa hukum Koalisi 18+ Anggara dalam keterangannya, Kamis (13/12).
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) ini, alasan MK menetapkan masa tunggu tiga tahun tidak berdasar, sebab tanpa ada penjelasan yang detail. "Seharusnya MK mampu melihat kedaruratan praktik perkawinan anak di Indonesia," tutur dia.
Anggara menambahkan, menurut data dari United Nations Children's Fund, sering (Unicef) per 2017 Indonesia menduduki peringkat ketujuh angka perkawinan anak terbanyak di dunia dan posisi kedua di Negara ASEAN berdasarkan data Council of Foreign Relation. Smeentara menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016, 17 persen anak Indonesia sudah menikah.
"Harusnya MK tidak perlu menyatakan masa tunggu tiga tahun," kata dia.
Menurutnya, pemerintah harus segera melakukan perubahan dalam UU Perkawinan Anak dengan mengatur batas usia perkawinan anak sesuai dengan UU Perlindungan Anak. Sebelumnya, lanjut dia, pemerintah sudah mewacanakan untuk mengesahakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk mencegah perkawinan anak sejak 2016.
"Namun hingga kini tidak ada tindak lanjut dari upaya ini. Semangat menghentikan perkawinan anak dari pemerintah seolah hilang timbul hanya karena euforia munculnya kasus-kasus perkawinan anak yang mengkhawatirkan," kata dia.
Baca juga
- Revisi Usia Perkawinan, Muhammadiyah: Umur Nikah Ijtihad
- Kemenag: Batas Minimal Menikah 16 Tahun tak Relevan
- KPAI Apresiasi MK Cegah Perkawinan Anak
Repons DPR
Wakil ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Tubagus Ace Hasan Syadzily, menyambut baik putusan MK yang meminta DPR mengubah Pasal 7 Ayat (1) Nomor 1 Undang-Undang Perkawinan. Oleh karena itu, pihaknya juga akan menindaklanjuti karena memang perintah MK.
"Tentu kami menyambut positif terkait substansi atau materi dari uji materi batas usia pernikahan perempuan yang diajukan menjadi 19 tahun," ujar Ace dalam pesan singkatnya, Jumat (14/12).
Ace berpendapat tidak boleh ada diskriminasi berdasarkan gender dalam menentukan batas minimal usia pernikahan. Apalagi secara psikologis, seorang individu yang belum berumur 19 tahun juga dinilai belum matang dalam menjalani kehidupan rumah tangga.
"Secara psikologis, seseorang yang masih berumur 16 tahun ya belum bisa matang menjalani kehidupan rumah tangga," ujar Ace.
Kemudian dari sisi pendidikan seorang anak yang berusia sudah 19 tahun pastinya memiliki standar pendidikan yang mumpuni. Ace juga berharap, putusan MK tersebut bisa menjadi landasan bagi DPR guna menyelesaikan berbagai macam persoalan pernikahan dini yang berimplikasi pada gejala kemiskinan.
"Seorang anak berumur 19 tahun tentu minimal sudah lulus SMA. Sehingga, pengetahuan yang dimiliki pasti memadai," tutur politikus Partai Golkar itu.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang menyatakan masih memungkinkan pihaknya untuk merevisi UU Perkawianan sebelum periode ini selesai. Namun, tidak menutup kemungkinan juga akan dibahas pada periode berikutnya yaitu di tahun 2020.
"Ini perintah mahkamah tentu akan kita laksanakan. Saya pikir dalam kaitan substansi yang dipersoalkan dengan hirarki undang-undang kita sebetulnya tidak ada persoalan. Kita lihat dulu prosedurnya, baik prosedur administrasi, prosedur pembahasan sebuah revisi undang-undang kalau memungkinkan kenapa tidak," ujar Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (14/12).
Namun, Marwan mengaku bagaimana pemerintah merespons ini. Karena nanti akan dilaporkan ke DPR RI, terus dibawa ke Bamus dan di Bamus akan diputuskan. Memang, kata Marwan, masih ada waktu untuk merevisinya, apalagi setelah selesai Pemilu 2019 juga masih ada waktu sekitar empat bulan sebelum masuk periode berikutnya.
"Cuma sebagian ini kan menganggap selain prosedur selain hirarki perundang-undangan justru masih ada memprotes ada yang curiga, tapi kita tidak sampai ke situ. Kita masih melihat formalitasnya saja. Nanti begitu ada perbincangan tentu semua pendapat kita akan kita dengarkan," tutur Marwan.
Lanjut Marwan, dari pandangan dari Fraksi PKB sendiri, sebetulnya dari substansi undang-undang tidak ada persoalan. Karena memang, sambungnya, dalam Undang-Undang Perlindungan Anak batas usia anak-anak menikah itu 18 tahun, sementara Undang-Undang Perkawinan memperbolehkan anak kawin di umur 16 tahun.
"Kalau pun nanti di masyarakat masih banyak yang menikah di di bawah umur 16 tahun itu kan nanti ada kajian sosialnya. Tapi dari segi undang-undangnya ya kita tidak bisa membiarkan begitu saja masa ada dua undang-undang yang berbeda," tutup Marwan.
[video] Pernikahan Dini, Menag: UU Pernikahan Harus Direvisi