Kamis 13 Dec 2018 07:37 WIB

MRT Targetkan 60 Ribu Penumpang

Kereta cepat fase I mulai dapat beroperasi pada pertengahan Maret 2019

Rep: Sri Handayani/Antara/ Red: Bilal Ramadhan
Rangkaian kereta Moda Raya Terpadu, MRT (ilustrasi)
Foto: Republika
Rangkaian kereta Moda Raya Terpadu, MRT (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama PT MRT Jakarta, William Sabandar mengatakan Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta atau Moda Raya Terpadu atau Angkutan Cepat Terpadu Jakarta MRT ditargetkan dapat menampung 60 ribu penumpang tiap hari. Target itu untuk penyesuaian dari pengoperasian MRT.

"Targetnya 60 ribu itu per hari. Jadi, kita mulai dengan 65 ribu pelan-pelan jadi 135 ribu," ujar William, Rabu (12/12).

William yakin ketika "Ratangga" beroperasi nanti masyarakat akan antusias menyambut moda transportasi umum tersebut. "Saya yakin bisa tercapai (jumlah target penumpang), yang terpenting saat ini adalah agar masyarakat merawat dan memulai menggunakan itu. Jadi sekarang kita sosialiasi habis-habisan di berbagai media," ujar dia.

Pihaknya menyebut tiap harinya Ratangga diujicobakan mulai dari Depo Lebak Bulus hingga Bundaran Hotel Indonesia. Wiliam berharap kereta cepat fase I mulai dapat beroperasi pada pertengahan Maret 2019, sementara fase 2 tengah direncanakan akhir Desember 2018 atau awal Januari 2019 untuk peletakan batu pertama (groundbreaking) yang menuju ke kota.

Sedangkan untuk tarif Ratangga, diperkirakan sekitar Rp 8.500 atau Rp 10 ribu. Ratangga fase 1 ditargetkan akan beroperasi pada Maret 2019 mendatang. "Jadi Rp 8.500 itu rata-rata 10 kilometer. Dia hanya naik stasiun bayar Rp 2.200, naik dua stasiun bayarnya Rp 1.500 tambah Rp1.400 jadi Rp 2.900 kira-kira begitu," kata William.

Hitungan tarif didapatkan dengan cara tarif per kilometer kali jarak tempuh, dengan tarif per kilometer dikenakan Rp 1.500. William menjelaskan kisaran tarif tersebut berdasarkan survei dengan 10 ribu responden melalui berbagai media angka yang kemudian disetujui masyarakat. Namun, keputusan tarif MRT belum diputuskan oleh pemerintah.

MRT Jakarta juga merencanakan adanya integrasi tiket mengingat MRT  merupakan bagian dari moda transportasi umum terintegrasi Jak Lingko. "Prinsipnya begini, bukan persoalan kita punya kartu sendiri atau kartu orang lain, tapi persoalannya apakah kartu ini bisa digunakan untuk transportasi publik, misalnya kartu Transjakarta bisa dipakai MRT kan enggak ada masalah, demikian sebaliknya. Nanti akan kita urus ya," jelas William.

Sementara itu, akademisi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno mengatakan rencana tarif MRT tersebut sudah ideal karena bersubdisi. "Kalau tidak bersubsidi, bisa kena Rp 35 ribu hingga Rp 40 ribu," kata Djoko.

Dengan harga tiket yang cukup mahal dibandingkan kereta rel listrik (KRL), karena KRL merupakan kereta lama dari segi infrastruktur. Kajian studi tarif, lanjut Djoko, harus disesuaikan dengan kemampuan dan kemauan masyarakat.

Fokus Angkutan Perumahan

Pengamat dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengatakan PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) mengatakan, dalam rangka integrasi moda transportasi di Jakarta, perusahaan tersebut harus menginisiasi angkutan-angkutan permukiman. Moda ini sangat diperlukan sebagai pendukung moda transportasi utama, yakni Ratangga.

"Sekarang Transjakarta menginisiasi daerah-daerah, umpanya kan ada anggaran dari DKI untuk bantu Bodetabek ya. Itu diprioritaskan untuk layanan angkutan umum kawasan perumahan," kata Djoko.

Berkembangnya angkutan perumahan di daerah-daerah penyangga, kata Djoko tak hanya menguntungkan warga setempat, namun juga Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Sebab, para pekerja maupun warga yang masuk ke Jakarta tak perlu menggunakan kendaraan pribadi.

Menurut Djoko, hal ini juga dilakukan Singapura sebelum mengembangkan mass rapid transit (MRT). Negara tersebut, mengawali dengan pembangunan fasilitas bus. Setelah terjadi perpindahan dari transportasi pribadi ke bus, pemerintah mulai membangun moda transportasi kereta. Bus-bus yang ada kemudian dikembangkan menjadi angkutan pengumpan.

Djoko menambahkan, pemerintah juga perlu merevisi Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Regulasi tersebut perlu mengatur perlunya pengembangan akses transportasi dari permukiman ke pusat angkutan umum. "UU itu di bawah kementerian PU. Mestinya harus direvisi," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement