Senin 10 Dec 2018 19:26 WIB

Perempuan, Hukum, dan HAM

Perempuan sebagai satu entitas masyarakat tereliminasi dalam narasi sejarah.

Dosen Hukum Pidana dan Kriminologi Unisba, Aktivis Perempuan
Foto:

Sebuah ironi; catatan tahunan (catahu) Komnas Perempuan Tahun 2017, menemukan angka kekerasan di ranah komunitas mencapai 3.092 kasus. Kekerasan seksual menempati peringkat pertama (2.290 kasus), diikuti kekerasan fisik (490 kasus) dan kekerasan psikis (83 kasus), buruh migran (90 kasus) dan perdagangan orang (139 kasus). Dalam perspektif viktimologi, perempuan masuk kategori potential victim. Lalu di manakah Hukum dan HAM bekerja dalam suatu mekanisme sistem sosial, jika kenyatannya hukum sebagai alternatif akhir mencari keadilan juga belumlah mampu memberikan perlindungan bagi perempuan?

Sejak lama para aktivis perempuan menyuarakan kritik soal diskriminasi terhadap perempuan di berbagai bidang termasuk hukum. Para aktivis perempuan tidak hanya berhenti pada penyuaraan soal isu diskriminatif, akan tetapi mempermasalahkan subjek hukum itu sendiri yang selalu dianggap netral.

Selain itu, kritik terhadap netralitas hukum, yakni mengapa hukum yang berlaku saat ini tidak dapat menerima dan membuka diri, untuk merasakan pengalaman-pengalaman perempuan, sehingga kebijakan yang dibuat tidaklah based on gender perspective. Fakta ini ditandai betapa terjal dan sulit untuk mendorong negara mengesahkan RUU Penghapusan kekerasan seksual.

Saat ini dalam kultur masyarakat Indonesia, masih banyak yang menganggap hukum yang baik adalah hukum yang netral atau objektif. Bagi para feminis anggapan seperti ini sebenarnya malah melegetimasikan ketidaksetaraan gender, etnisitas, ras dan kelas yang ada dalam masyarakat.

Kritik terhadap Netralitas Hukum

Konsep netralitas atau objektivitas hukum berasal dari aliran positivisme hukum. Menurut para penganut positivisme hukum, kepastian hukum hanya akan terwujud bila hukum dianggap sebagai sistem yang tertutup dan otonom dari berbagai persoalan moral, agama, filsafat, politik, sejarah dan semacamnya. Pertanyaan tentang adil tidaknya atau baik buruknya hukum merupakan pertanyaan moral yang tidak relevan diajukan. Meskipun sebuah hukum terbukti tidak adil, tapi masih berlaku, maka hukum itu tetap harus dipatuhi.

Syndrom netralitas hukum juga terjadi pada akhir tahun 1960-1970an di Amerika dan Eropa. Para feminis mulai mengkritik netralitas hukum. Sejak itu mereka berusaha membentuk teori hukum berperspektif feminis (feminist jurisprudence). Para feminis menganggap hukum yang baik adalah hukum yang berpihak kepada perempuan (dan tentunya siapa saja) yang secara sosial dilemahkan untuk kemudian melawan penindasan tersebut, yang pada kenyataannya perempuan dikorbankan dalam bayang-bayang netralitas hukum.

Perjuangan perempuan untuk keadilan dan kesetaraan saat ini adalah realitas sosial yang menandakan bahwa manusia senantiasa berpikir dalam alur kausalitas. Hal ini menandai sebagai suatu proses yang tak kenal ujung-akhir dan tak percaya lagi akan adanya apa yang disebut pre-estabilished order. Bagaimanapun juga, manusia sebagai makhluk dengan perilakunya yang deterministik punya kehendak bebas.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual; Kado Hari HAM

Mengapa pengesahan RUU penghapusan kekerasan seksual ini sangat mendesak, atau mengapa pula bahwa RUU ini adalah bagian perjuangan HAM? Pertama, pascatahun 1998 kasus kekerasan seksual terus meningkat. Kedua, perangkat hukum yang tidak memadai baik dari aspek substansi maupun kesadaran struktur penegak hukum yang memiliki kepekaan terhadap korban (victim oriented).

Ketiga, terdapat kebutuhan yang mendesak karena kondisi keterbatasan KUHPidana saat ini yang tidak bisa menjangkau dimensi kekerasan seksual, KUHPidana hanya mengatur delik perkosaan dengan rumusan yang sangat rigid, pencabulan perzinahan. Keempat dampak kekerasan seksual terhadap perempuan sangat buruk karena akan berdampak sepajang hidup korban dan menurunkan kualitas hidup koran.

Usia perjuangan pengesahan RUU tersebut, hampir genap empat tahun, sejak mulai disusunnya. Semoga desakan-desakan untuk pengesahan RUU tersebut tidak menguap sejalan dengan suhu politik saat ini. Pada akhirnya soal-soal kesetaraan dan keadilan sebagai ruh dari perjuangan kaum perempuan berujung pada kemauan politik negara untuk menyediakan alat perlengkapannya.

Karena kerja-kerja perjuangan penegakan HAM belum selesai, Perempuan wajib terlibat dan mengambil bagian itu, tidak hanya sekedar menjadi pelengkap kuota 30 persen saja. Hari ini, pada momentum menjelang peringatan hari HAM sedunia, kita mesti merenungkan jawaban apa yang tepat dari satu pertanyaan sederhana; “apakah HAM dan hukum telah berpihak pada perempuan? Akankah spektrum nilai-nilai HAM dan hukum hari ini telah membuka ruang untuk keadilan dan kesetaraan?”.

*) Dosen Hukum Pidana dan Kriminologi Unisba, Aktivis Perempuan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement