Senin 10 Dec 2018 06:09 WIB

Dunia Anomali

Dunia anomali atau penyimpangan perilaku terjadi karena banyak kemungkinan.

Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir
Foto:

Khalayak selalu mengagumi dan terpukau dengan penampilan para aktor dalam layar dramaturgi karena mereka tidak tahu persis apa yang sesungguhnya dilakukan para aktor itu dalam keseharian. Perangai buruk dan merusaknya sering diterima secara buta oleh pengikutnya karena mereka tidak mengetahui apa yang terjadi sesungguhnya, sehingga meski salah tetap dibela dalam balutan rabun kesadaran kolektif yang akut.

Dalam ranah politik, dramaturgi menjadi pemandangan umum yang dianggap lazim. Para elite memainkan banyak peran kontroversial di khalayak publik. Pagi hari A, siang hari B, sore hari H, malam hari K, besok hari menjadi XYZ. Mereka mencari legitimasi seputar inkonsistensi sikap politiknya pada adagium “politik seni dari banyak kemungkinan” atau “politik itu dinamis”.

Aktor politik terbiasa berdramaturgi, apa yang ada di lisan lain pula dalam tindakan. Politik pun tidak jarang menjadi keras dan sarat muslihat, lain di depan lain di belakang. Politik lantas kehilangan nilai kejujuran, keterpercayaan, dan sikap kenegarawanan. Politisi yang baik dikakahkan oleh aktor-aktor kontroversial yang perkasa.

Dramaturgi memasuki babak baru dalam dunia media sosial. Media daring saat ini menjadi arena dramaturgi paling heboh, dari ujaran sampai etalase aksi di layar maya. Perebutan kepentingan politik sampai tafsir keagamaan bertebaran masif sesuai selera masing-masing di dunia digital itu. Hoaks menjadi santapan sehari-hari tanpa daya kritis.

Kewarasan publik diporak-porandakan oleh logika-logika sumbu pendek yang menghasut, menekan, menghujat, serta menebar aura marah dan permusuhan yang berubah menjadi budaya baru bangsa ini. Sosok-sosok keras dan narsis menjadi idola baru di tengah kultur publik yang mengalami pembodohan masif.

Sikap elite dan orientasi pandangan keagamaan mengalami politisasi yang tak terbendung di media sosial, sehingga pesan-pesan agama yang mengemuka makin kerdil dan menghilangkan sukma beragama yang mencerahkan. Produksi ujaran yang keras, sadis, jorok, dan tak patut secara moral menjadi menu sehari-hari di media daring dengan daya jelajah interaksi dan frekuensi yang melintasi nyaris tidak pernah berhenti hanya untuk satu detik pun.

Akibatnya, ruang sosial masyarakat berubah drastis dari kultur paguyuban yang alamiah ke patembayatan yang paling instrumental dan sarat kepentingan material sekaligus transaksional. Manusia “zaman now” sepenuhnya menjadi—meminjam istilah Alvin Toffler (1970)—the modular man atau insan modular yang paling sempurna di jagat raya saat ini!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement