Senin 10 Dec 2018 06:09 WIB

Dunia Anomali

Dunia anomali atau penyimpangan perilaku terjadi karena banyak kemungkinan.

Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir
Foto:

Spiritualisasi Ihsan

Bagaimana agar beragama menampilkan konsistensi antara kata dan tindakan yang mencerahkan? Umar bin Khattab sangat dikenal keras, tegas, dan perkasa, baik sebagai pribadi maupun selaku amirul mukminin.

Namun, dia pernah berpesan, “Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik.”

Umar yang gagah dan digdaya dalam karakter tokoh hebat, terbukti sebagai sosok moralis yang menjunjung tinggi kebajikan meski untuk suatu prasangka dalam hubungan antarinsan.

Dalam berpolitik, Amirul Mukminin juga dikenal menjujung tinggi etika. Ketika anaknya yang memang hebat, yakni Abdullah bin Umar, masuk dalam enam anggota formatur untuk pemilihan khalifah sesudahnya, Umar mensyaratkan Abdullah dibolehkan memiliki hak pilih tetapi dilarang untuk dipilih sehingga tidak punya peluang sama sekali untuk menjadi khalifah.

Umar jauh dari politik dinasti, sebagai bukti dari sikap etik dan kenegarawanan yang autentik. Islam bukan berhenti di lisan dan pengetahuan, tetapi benar-benar dipahami, dihayati, dan dipraktikkannya dalam tindakan berpolitik yang mencerdaskan dan mencerahkan.

Jika ingin Islam itu mewujud dalam tindakan nyata serta mencerahkan diri dan lingkungannya, maka penting adanya proses spiritualisasi ihsan dalam beragama. Islam tidak digelorakan dalam semarak ritual ibadah serbaverbal dan berhenti pada ranah syariat, tetapi mesti menghunjam dalam kesadaran imani yang membuahkan kebajikan perilaku yang melampaui.

Keislaman bukan berhenti dalam atribut pakaian serbaputih yang tampak disakralkan dari luar, ritual-ritual ibadah seremonial, kefasihan berdalil kitab suci, serta sederat formalitas syariat luar. Islam justru harus dijadikan model perilaku aktual yang serbabajik sebagaimana rujukan akhlak Nabi dan para sahabat mulia yang membuktikan kata sejalan tindakan. Itulah akhlak uswah hasanah.

Rasulullah pernah ditanya tentang amalan yang paling banyak mengantarkan manusia masuk surga, beliau menjawab: “Taqwallahi wa husnul khuluq,” yakni bertakwa kepada Allah dan berakhlak yang mulia (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Ahmad, Ibnu Hibban, dan al-Hakim dari Abu Hurairah).

Nabi akhir zaman bahkan memperingatkan dalam salah satu hadis yang artinya, “Orang yang paling dibenci Allah ialah yang bermusuh-musuhan dengan keji dan kejam.” (HR Bukhari). Betapa penting dan menentukan ajaran tentang akhlak mulia atau al-akhlaq al-karimah dalam Islam yang berwujud budi luhur dalam ujaran, sikap, dan perbuatan.

Menghadapi dunia anomali, diperlukan model perilaku berbasis spiritualisasi ihsan yang menanamkan perilaku aktual yang jujur, amanah, welas asih, konsisten, dan luhur budi di bumi nyata. Orientasi pandangan keagamaan penting digeser dari serbadogma ke tindakan nyata yang menyuburkan orientasi humanis. Istilah Hassan Hanafi, mengubah alam pikir keislaman dari serbalangit ke bumi.

Orientasi tauhid pun niscaya dibumikan dari teosentrisme ke antroposentrisme agar tauhid—meminjam pandangan Asghar Ali Anginerr—berfungsi sebagai teologi yang membebaskan kehidupan. Bukan teologi di menara gading, yang tidak menyentuh bumi kemanusiaan, bahkan membiarkan anomali menjadi normal dalam baju kebesaran keagamaan yang angkuh tetapi lapuk laksana kasur tua!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement