Senin 10 Dec 2018 06:09 WIB

Dunia Anomali

Dunia anomali atau penyimpangan perilaku terjadi karena banyak kemungkinan.

Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir
Foto: RepublikaTV/Havid Al Vizki
Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Haedar Nashir

Suatu saat di zaman Nabi. Beberapa orang datang menemui Rasulullah. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, seseorang rajin shalat, puasa, dan mengeluarkan zakat, tetapi ia juga sering berbuat jahat terhadap tetangganya.” Nabi menjawab, “Dia penghuni neraka.” Sebaliknya, terdapat seorang yang shalat, puasa, dan zakatnya biasa saja, tetapi tidak pernah berbuat jahat terhadap tetangganya. Kemudian Rasulullah bersabda, “Dia penghuni surga.”

Sungguh ironi. Bagaimana mungkin ada Muslim yang rajin beribadah, menyuarakan tauhid, taat shalat wajib dan sunah, puasa Senin-Kamis dan Daud selain shaum wajib, gemar berbagi rezeki, hafal ayat-ayat Alquran, paham Islam dari A sampai Z, dan sehari-hari hidup dalam gemerlap ritual keislaman, tetapi perangainya buruk kata dan ujaran, pemarah, penghujat, penyebar kebencian, serta bertindak onar dan keburukan terhadap sesama? Sedangkan, mereka yang beragama biasa saja menampilkan perangai yang luhur terhadap sesama.

Kisah dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Hakim itu tampak paradoks dan rasanya secara lahir sulit dipahami terjadi dalam diri seseorang yang taat beragama. Sosok-sosok yang di mata publik atau umat begitu berkemilau dalam atribut keagamaan, ujaran dan tindakannya jauh panggang dari api.

Di dunia yang fana ini, segala perilaku anak cucu Adam hadir dalam ragam yang kompleks. Segala peristiwa terjadi dari yang dapat dipahami sampai mengandung sejuta rahasia. Allah Yang Maha Pencipta bahkan menyebut dunia sebagai penuh permainan atau al-mata al-ghurur. Maka, paradoks pun bagian dari dunia, bak panggung sandiwara itu. Para sosiolog menyebut dunia paradoks itu sebagai “anomali”, sesuatu yang menyimpang dari kelaziman.

Dramaturgi

Dunia anomali atau penyimpangan perilaku terjadi karena banyak kemungkinan. Dalam diri subjek, nilai-nilai yang baik sekadar menjadi norma verbal, tidak mengalami internalisasi. Artinya, nilai-nilai baik itu tidak tertanam dalam jiwa dan pikiran untuk menghasilkan tindakan yang selaras.

Sekadar berhenti di tingkat kognisi dan lisan belaka. Dalam teori Robert K Merton, nilai-nilai luhur tersebut berhenti sebagai sesuatu yang laten (terpendam) dan tidak manifes (nyata) yang mewujud dalam praktik hidup di dunia nyata. Bahasa umum menyebutnya sebagai split of personality, kepribadian yang terbelah dengan menampilkan perangai-perangai yang kontradiktif di dalam dirinya.

Perilaku yang anomali ibarat dramaturgi, sesuatu yang semu laksana permainan sandiwara di panggung. Dalam dramaturgi, ujar Erving Goffman dalam Presentation of Self in Everyday Life (1959), seseorang akan menampilkan presentasi diri di depan pentas yang serba-termanipulasi, baik diri maupun segala aksesorinya, sehingga memuaskan penonton atau khalayak umum. Sementara, di belakang panggung, semua drama di pentas itu diatur dan dimanipulasi sedemikian rupa, yang tentu saja publik tidak mengetahui perangai yang sesungguhnya.

Di panggung yang penuh dekorasi itulah tempat pentas sandiwara beragam perilaku aktor yang penuh topeng dipertunjukkan. Penampilannya di atas pentas tentu berbeda dengan yang sesungguhnya, seperti hadis Nabi tentang sang Muslim yang tampak saleh di luar tetapi perangainya buruk.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement