REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Direktur Utama (Dirut) Perum Jasa Tirta (PJT) II, Djoko Saputro (DS) sebagai tersangka kasus dugan korupsi dalam pengadaan pekerjaan jasa konstruksi di Perum Jasa Tirta II Tahun 2017. Djoko Saputro ditetapkan besama dengan satu pihak swasta Andririni Yaktiningsasi (AY).
"KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dan menetapkan dua orang sebagai tersangka yaitu DS dan AY," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Jakarta, Jumat (7/12).
Febri menjelaskan, perkara berawal pada 2016 setelah Djoko Saputro diangkat menjadi Direktur Utama PJT II. Saat itu, Djoko Saputro diduga memerintahkan untuk melakukan relokasi anggaran.
"Revisi anggaran dilakukan dengan mengalokasikan tambahan anggaran pada pekerjaan Pengembangan SDM dan strategi korporat yang pada awalnya senilai Rp 2,8 miliar menjadl Rp 9,55 miliar," jelasnya.
Anggaran tersebut terdiri dari perencanaan strategis korporat dan proses bisnis senilai Rp 3.820.000.000. Selain itu Djoko juga mengubah anggaran perencanaan komprehensif pengembangan SDM Perum Jasa Tirta II sebagai antisipasi pengembangan usaha perusahaan menjadi senilai Rp 5.730.000.000.
"Perubahan tersebut diduga dilakukan tanpa adanya usulan baik dari unit lain dan tidak sesuai aturan yang berlaku," katanya.
Setelah dilakukan revisi anggaran, Djoko kemudian memerintahkan agar Andririni Yaktingsasi menjadi pelaksana pada kedua kegiatan tersebut. Dalam dua kegiatan tersebut, Andririni diduga menggunakan bendera perusahaan PT Bandung Management Economic Center dan PT 2001 Pangripta sebagai formalitas untuk memenuhi administrasi lelang. Tak hanya itu, pelaksanaan lelang juga diduga direkayasa dan formalitas.
"Dengan membuat penanggalan dokumen administrasi lelang secara backdated," paparnya.
Akibat rekayasa yang dilakukan Djoko dan Andririni tersebut, keuangan negara diduga dirugikan hingga Rp 3,6 miliar. Kerugian negara ini diduga merupakan keuntungan yang diterima Andririni dari kedua pekerjaan tersebut atau setidaknya lebih dari 66 persen dari pembayaran yang telah diterima.
Atas perhuatannya, Djoko dan Andririni disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.