REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai, jika peristiwa pembunuhan di Nduga, Papua, tidak ditangani secara tepat dan baik, maka akan berkembang menjadi permasalahan HAM di kemudian hari. Karena itu, Komnas HAM meminta aparat penegak hukum untuk menindak para pelaku dengan memperhatikan prinsip-prinsip HAM.
"Jika peristiwa pembunuhan tidak manusiawi di Nduga itu ditangani tidak secara tepat dan baik, maka akan mudah berkembang menjadi permasalahan HAM di kemudian hari," ujar Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Rabu (5/12).
Karena itu, Ahmad mengatakan, Komnas HAM meminta aparat penegak hukum sesegera mungkin bisa menindak dan menangkap para pelaku. Dalam melakukan penindakan dan penangkapan tersebut, aparat keaman harus bertindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan prinsip-prinsip HAM.
Ahmad juga menuturkan, pada 2018 ini, peristiwa kekerasan bersenjata telah terjadi beberapa kali di wilayah Nduga. Berulangnya peristiwa kekerasan bersenjata di wilayah Nduga dan wilayah Papua lainnya itu menunjukan situasi sosial-politik di Papua belum stabil.
Di samping itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto, menyebutkan, jumlah korban meninggal dunia dari pembunuhan di Nduga, Papua, berjumlah 19 orang. Ia menyebutkan, enam dari 25 orang karyawan PT Istaka Karya yang ditahan kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB) berhasil melarikan diri, namun dua orang di antaranya kini masih belum ditemukan.
"Bukan 31 ya, tapi dari 25 yang mereka tahan. Mereka melakukan penembakan yang sangat brutal," ujar Wiranto di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Rabu (5/12).
Ia menyebutkan, dari 25 orang tersebut, ada enam orang bisa melarikan diri. Sementara 19 orang lainnya ditrmbak dan meninggal dunia. Dari enam orang tersebut, empat orang berhasil diselamatkan pasukan gabungan TNI-Polri dan dua orang lainnya masih belum ditemukan.
"Empat bisa diselamatkan oleh pasukan kita dan dua sedang dilakukan pencarian," kata Wiranto.