Rabu 05 Dec 2018 14:52 WIB

Prabowo dan Sikapnya kepada Media Massa

Baik Prabowo dan media massa diminta untuk introspeksi.

Rep: Febrianto Adi Saputro/Dian Erika Nugraheny/ Red: Muhammad Hafil
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kanan) memberi keterangan pada wartawan saat menghadiri acara Rapat Kerja Nasional Bidang Advokasi dan Hukum DPP Gerindra di Jakarta, Kamis (5/4).
Foto: Antara/Muhammad Adimadja
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kanan) memberi keterangan pada wartawan saat menghadiri acara Rapat Kerja Nasional Bidang Advokasi dan Hukum DPP Gerindra di Jakarta, Kamis (5/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Calon presiden (capres) nomor urut 02 Prabowo Subianto menghadiri Peringatan Hari Disabilitas Internasional yang digelar di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, Rabu (5/11). Dalam kesempatan itu  Prabowo sempat menyindir keberadaan para jurnalis yang hadir di acara tersebut.

"Ada wartawan nggak di sini? Mereka ke sini nungguin gue salah ngomong," kata Prabowo.

Mantan Danjen Kopassus tersebut juga menyindir sejumlah media yang tidak melihat aksi reuni 212 sebagai peristiwa yang besar. Ia menyebut ada upaya memanipulasi demokrasi yang dilakukan oleh beberapa media yang menganggap dirinya objektif.

"Sudah saatnya kita bicara apa adanya, Yang bener, bener yang salah ya salah.  Mereka mau mengatakan yang 11 juta hanya 15 ribu, bahkan ada yang kalau lebih dari 1.000 dia nantang minta, terserah deh apa yang dia minta," kata Prabowo.

Prabowo juga mengaku tidak lagi percaya dengan media mainstream. Bahkan Prabowo mengaku membaca koran hanya untuk melihat kebohongan demi kebohongan.

"Saya katakan, hey jurnalis-jurnalis, kalian tidak berhak sandang sebagai jurnalis. Saya katakan mulai sekarang jangan lagi hormati mereka karena mereka semua antek," ujarnya diikuti sorakan peserta yang dihadiri mayoritas oleh penyandang disabilitas. 

Usai acara, Prabowo memilih menghindar dari media."Kamu dari mana?," kata Prabowo kepada salah satu wartawan televisi sebelum dirinya pergi.

Para awak media pun mengejar Prabowo hingga ke pintu keluar hotel. Prabowo sempat berhenti meladeni sejumlah pertanyaan, namun akhirnya ia kembali melanjutkan langkahnya ketika para jurnalis kembali mengepungnya.

"Kebebasan pers itu harus objektif memberi tahu apa adanya," ucapnya.

Sikap Prabowo ‘memboikot’ per situ bukan pertama kalinya. Pada 2014 lalu, tepatnya pada 9 Juli 2014, di Hambalang Bogor, saat dia masih berstatus capres pada Pilpres 2014, Prabowo juga sempat memarahi sejumlah wartawan televisi. Yaitu, wartawan dari  Berita Satu, Kompas TV, dan Metro TV.

Wawancara dengan sejumlah wartawan televisi dari stasiun ANTV, CNN, RCTI, dan TV One, berlangsung lancar. Namun, saat wawancara dengan stasiun Berita Satu, Kompas TV,  dan Metro TV, Prabowo menunjukkan 'kemarahannya'.

Kepada tiga wartawan terakhir, Prabowo memarahi reporternya dan menyuruh wartawan itu bilang kepada para bosnya untuk bersikap adil kepada Prabowo. Karena, selama itu, Prabowo kerap diberitakan yang negatif dan tidak sesuai fakta.

Dalam sebuah kesempatan, Prabowo juga pernah tak mau menjawab pertanyaan dari wartawan The Jakarta Post. Karena, Prabowo merasa percuma menjawab pertanyaan jika jawabannya tak dimuat.

Belakangan, pada masa Pemilu 2019 ini, Prabowo melalui kubunya juga memboikot stasiun Metro TV. Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo sekaligus  Direktur Komunikasi dan Media Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, mengeluarkan surat edaran tertanggal 22 November 2018 perihal menolak permohonan wawancara salah satu televisi swasta. Surat Nomor: 02/DMK/PADI/11/2018 yang sempat beredar melalui sejumlah grup Whatsapp itu ditujukan kepada seluruh anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi.

Surat ini terkait dengan instruksi dari Ketua BPN Prabowo Subianto/Sandiaga Uno, Djoko Santoso, untuk memboikot Metro TV. Dalam suratnya, Hashim Djojohadikusumo menegaskan bahwa seluruh komponen BPN, termasuk partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Adil Makmur agar menolak setiap undangan maupun wawancara yang diajukan televisi swasta itu hingga waktu yang ditentukan.

Baca juga: Tim Medis: Banyak Peserta Reuni 212 yang Kesurupan

Baca juga: PBNU Sesalkan Pernyataan Dubes Saudi Soal Organisasi Sesat

Sementara, Kepala Media Center BPN Prabowo-Sandi, Ariseno Ridhwan mengungkapkan alasan pihaknya memboikot Metro TV. Pihak Prabowo-Sandi menilai, apa yang disiarkan Metro TV selama ini terkesan tidak seimbang dan cenderung tendensius.

"Mereka seperti apa? Silakan tanya ke masyarakat. Selama ini mereka disuguhi tayangan apa terkait pilpres? Bagi kami, tayangan Metro TV terkesan tidak berimbang dan cenderung tendensius. Sementara mereka menggunakan frekuensi publik dalam siarannya. Frekuensi publik ini milik semua warga negara, jadi objektivitas harus dijaga," ujar Ariseno.

Menanggapi masalah ini, Ketua Dewan Pers, Yosep 'Stanley' Adi Prasetyo, mengatakan pemboikotan media bisa berpotensi sanksi pidana. Hal ini diungkapkan saat menanggapi adanya surat edaran dari Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga yang memboikot Metro TV.

Stanley menjelaskan, kedua pihak baik BPN dan Metro TV seharusnya saling melakukan introspeksi. Kepada Metro TV, pihaknya meminta untuk mengevaluasi apakah pemberitaannya memang berat sebelah atau tidak yang pada akhirnya berujung pada pemboikotan.

"Kedua, kami ingatkan kepada pemboikot (BPN) bahwa kalau menghalang-halangi kerja wartawan untuk mendapatkan informasi, bukan hanya merugikan, tapi terancam terkena pasal pasal 18 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, yang menyebut ada ancaman pidana untuk menghalangi kerja wartawan," ujar Stanley kepada wartawan di Hotel Grand Mercure, Jakarta Pusat, Senin (26/11).

Aturan ini secara rinci dijelaskan dalam pasal 18 ayat (1), yang berbunyi 'Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah)'.

Baca juga: Soal Habib Bahar, PKS: Jangan Sampai Ada Tebang Pilih Kasus

Baca juga: Reuni 212 Jadi Sorotan Berbagai Media Asing

Kemudian pasal 4 ayat (2) berbunyi 'terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran'. Ayat (3) berbunyi 'untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi'. Stanley melanjutkan Dewan Pers belum melakukan pengusutan atas surat edaran itu. Dewan Pers menyada kan pihak BPN melaporkan hal ini kepada mereka.

"Jika sudah dilaporkan, kami akan panggil stasiun televisinya. Atau bisa juga stasiun televisinya melapor kepada Dewan Pers, bilang bahwa 'kami diboikot, tolong dinilai karya kami selama ini seperti apa, melanggar etik atau bukan. Dengan begitu ada titik temu di antara kedua belah pihak," paparnya.

Stanley mengungkapkan, sampai saat ini pihaknya masih menunggu adanya insiatif dari BPN atau Metro TV untuk melaporkan. Namun, kalau medianya tidak merasa dirugikan, Dewan Pers tidak bisa memaksa. Dewan Pers juga tidak menutup kemungkinan untuk memediasi keduanya. 

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, dalam kasus ini, ada dua perspektif yang menjadi sorotan. Pertama, sikap Prabowo kepada pers yang bisa mengancam demokrasi.

“Prabowo tidak bisa sesuka hati seperti itu terhadap media massa,” kata Pangi.

Pangi mengandaikan, jika Prabowo terpilih menjadi presiden, maka media-media yang tidak disukainya, bisa digulung. Dan, ini menjadi ancaman buruk bagi demokrasi.

Seharusnya, lanjut Pangi, Prabowo bisa mencontoh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat berkuasa. Di mana, kritik apapun yang disampaikan oleh media massa, tak membuatnya memusuhi media. “SBY ini contoh keberhasilan militer yang merangkul sipil. Dan, ini bagus untuk demokrasi,” kata Pangi.

Perspektif kedua, lanjut Pangi, soal sikap media massanya. Di mana, sikap Prabowo itu muncul karena ketidakpercayaannya kepada sejumlah media. Di mana, Prabowo merasa ucapannya suka dipelintir atau media terus memojokkan dirinya.

“Ini yang harusnya menjadi introspeksi bagi media massa,” kata Pangi.

Menurut Pangi, media massa tak boleh tunduk kepada kepentingan pemiliknya. Media massa harus berpihak kepada fakta dan kebenaran serta kepentingan publik.

Karena itu, lanjut Pangi, media seharusnya bisa berimbang. Memberitakan kritik juga memberitakan hal positif atas pencapaian seseorang atau instansi selama masih dalam tataran kepentingan publik.

Baca juga:BPN: Elektabilitas Prabowo-Sandi Hampir Samai Jokowi-Ma'ruf

Baca juga: Menghitung Jumlah Peserta Reuni 212

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement