Sabtu 01 Dec 2018 08:34 WIB

Peneliti: MA Perlu Langkah Luar Biasa Bersihkan Mafia Hukum

Pengadilan atau cabang kekuasaan yudikatif sedang dalam kondisi darurat korupsi.

Peneliti ICW Lalola Easter menyampaikan hasil pemantauan perkara korupsi yang divonis oleh pengadilan selama 2017 di Jakarta, Kamis (3/5).
Foto: Republika/Prayogi
Peneliti ICW Lalola Easter menyampaikan hasil pemantauan perkara korupsi yang divonis oleh pengadilan selama 2017 di Jakarta, Kamis (3/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyaknya hakim dan pegawai pengadilan yang ditangkap KPK mengindikasikan pengadilan atau cabang kekuasaan yudikatif sedang dalam kondisi darurat korupsi. Karena itu, Mahkamah Agung (MA) perlu melakukan langkah luar biasa untuk membersihkan praktik mafia hukum.

"Karena kondisi pengadilan yang darurat, maka perlu ada langkah luar biasa untuk membersihkan praktik mafia hukum di pengadilan dan sekaligus mengembalikan citra pengadilan di mata publik," ujar salah satu peneliti ICW, Lalola Easter Kanan, ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (30/11).

Lalola mengatakan hal tersebut ketika menanggapi perkara dua hakim Pengadilan Jakarta Selatan yang ditetapkan sebagai tersangka kasus suap oleh KPK. Penetapan status tersangka setelah diamankan dalam OTT KPK.

Lalola mengatakan membuka ruang bagi KPK untuk terus melakukan penindakan dengan menangkap hakim dan aparat Pengadilan yang korup tidak cukup efektif untuk mencegah darurat korupsi di cabang kekuasaan yudikatif. "Sebagai langkah pencegahan lain, Mahkamah Agung (MA) perlu melakukan evaluasi dalam melihat dan memetakan potensi korupsi di tubuh pengadilan," kata Lalola.

Selain itu, Lalola berpendapat MA perlu melakukan evaluasi terhadap implementasi Perma No. 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya. "Apakah Perma tersebut efektif dalam mengatasi persoalan korupsi yang dilakukan oleh hakim dan aparat pengadilan, ini harus dievaluasi," kata Lalola.

Pada Rabu (28/11), KPK menetapkan dua hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yaitu Iswahyu Widodo dan Irwan sebagai tersangka penerima suap bersama panitera Muhammad Ramadhan. Mereka diduga menerima suap sekira Rp 650 juta dalam bentuk 47 ribu dolar Singapura (sekira Rp 500 juta) dan Rp 150 juta dari advokat Arif Fitrawan (AF) dan seorang pihak swasta Martin P Silitonga (MPS).

KPK kemudian melakukan penahanan untuk 20 hari pertama terhadap tersangka Iswahyu Widodo dan Irwan yang ditahan di Polres Metro Jakarta Timur, Muhammad Ramadhan di rutan Pomdam Jaya Guntur dan Arif Fitrawan di Polres Metro Jakarta Selatan.

Pemberian suap dalam perkara ini terkait dengan penanganan perkara Nomor 262/Pid.G/2018/PN Jaksel dengan penggugat Isrulah Achmad dan tergugat Williem J.V. Dongen, yang menggugat PT. Asia Pacific Mining Resources (APMR) dan Thomas Azali.

Pemberian suap dimaksudkan supaya majelis hakim membatalkan perjanjian akuisisi PT Citra Lampia Mandiri (CLM) oleh PT APMR di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Ditetapkannya dua hakim PN Jaksel dan seorang panitera sebagai tersangka oleh KPK, menjadikan jumlah aparat pengadilan yang terjerat kasus korupsi menjadi 28 orang.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement