REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengungkapkan, kode sandi "ngopi" digunakan dalam percakapan kasus suap Hakim PN Jaksel terkait gugatan pembatalan perjanjian akuisisi PT Citra Lampia Mandiri (CLM) oleh PT Asia Pacific Mining Resources (APMR). Kasus suap ini terbongkar lewat operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan kemarin, Selasa (27/11).
"'Sandi ngopi' yakni rencana bertemu, uang yang sudah disepakati. MR (Muhammad Ramadhan) sampaikan agar dibantu. Hakim tanyakan ke MR, bagaimana jadi 'ngopi' tidak, artinya hakim tanya uang sudah ada apa belum," ungkap Alex di Gedung KPK Jakarta, Rabu (28/11) malam.
Dalam kasus ini KPK menetapkan lima tersangka yakni diduga sebagai penerima: Iswahyu Widodo, Hakim PN Jakarta SeIatan (Ketua Majelis Hakim); Irwan, Hakim PN Jakarta Selatan; Muhammad Ramadhan Panitera Penggati PN Jakarta Timur. Dan diduga sebagai pemberi yakni Arif Fitrawan, Advokat; Martin P. Silitonga, Swasta yang saat ini sedang dalam penahanan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan atas dugaan pelanggaran pidana umum.
Baca juga, MA akan Selidiki Kasus OTT Hakim PN Jaksel.
Dua hakim dan panitera tersebut diduga menerima suap sebesar ratusan ribu dolar Singapura dari Advokat Arif Fitrawan dan Martin P Silitonga. Diduga, pemberian suap itu terkait dengan penanganan perkara perdata di PN Jakarta Selatan dengan penggugat Isrulah Achmad dan tergugat Williem JV Dongen dan turut tergugat PT Asia Pacific Mining Resources.
Gugatan perdata ini terkait pembatalan perjanjian akuisisi PT CLM (PT Citra Lampia Mandiri) oleh PT APMR di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan ini didaftarkan pada 26 Maret 2018.
"Selama proses persidangan, diindikasikan pihak penggugat melakukan komunikasi dengan MR panitera pengganti PN Jaktim sebagai pihak yang diduga sebagai perantara terhadap majelis hakim yang menangani perkara di PN Jakarta Selatan," terang Alex.
Advokat Arif Fitrawan, lanjut Alex, diduga menitipkan uang 47 ribu dollar Singapura atau setara Rp 500 juta ke Muhammad Ramadhan untuk diserahkan kepada majelis hakim. Diduga sebelumnya majelis hakim juga telah menerima uang sebesar Rp 150 juta dari Arif Fitawan melalui Muhammad Ramadhan untuk mempengaruhi putusan sela.
"Agar tidak diputus N.O yang dibacakan pada Agustus 2018 dan disepakati akan menerima lagi sebesar Rp 500 juta untuk putusan akhir," terang Alex.
Atas perbuatannya, kepada pihak yang diduga penerima suap disangkakan Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor yang diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara para pihak yang diduga pemberi suap disangkakan dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"KPK terus mengingatkan agar seluruh pihak, khususnya aparat penegak hukum untuk terus menjaga integritas dan tidak terlibat dalam tindak pidana korupsi dengan memperjualbelikan putusan," tegas Alex