REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Normalisasi hulu sungai Ciliwung yang tengah dikerjakan oleh sejumlah relawan, mendapat apresiasi dari sejumlah pihak. Menurut Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWS) Jarot Widyoko, normalisasi tersebut penting dilakukan karena daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung telah rusak parah.
Menurutnya, normalisasi tersebut merupakan salah satu upaya mengembalikan fungsi embung kembali. Kenaikan tingkat degradasi lapisan hasil erosi (fluvial) akibat erosi cukup meningkat. Menurutnya, dalam kurun waktu enam tahun terakhir meningkat sebesar 12 persen.
Kenaikan erosi terkait keberadaan arus sungai, tanah endapan, fluvial pada 2006 berkisar di bawah lima persen. "Pada 2006 itu fluvial dan tanah endapan pada Das Ciliwung berkisar lima persen," ujarnya, Sabtu (24/11).
Menurutnya, bila pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan baik, maka dapat dipastikan banjir dan bencana akibat kerusakan DAS akan berkurang sebanyak 40 persen. Namun menurutnya, jika kerusakan tersebut tetap dibiarkan, maka dalam 10 tahun mendatang DAS tersebut akan menjadi penyumbang banjir dan bencana ekologi lainnya seperti yang sering terjadi.
Menurut Komandan Resor Militer (Korem) Kolonel Muhammad Hasan menilai, meski belum terdapat regulasi terintegrasi soal Ciliwung, pembenahan hulu sungai Ciliwung harus dimulai. Pasalnya, jika dibiarkan menahun, dampak ekologinya akan berimbas bagi banyak orang.
"Ciliwung ini punya peran vital untuk masyarakat banyak, urat nadi ibaratnya," ujarnya.
Menurutnya, kondisi kritis DAS Ciliwung termasuk di wilayah Puncak terindikasi dari menurunnya kualitas air. Salah satu buruknya kualitas sungai dapat dilihat dari sudah tidak adanya spesies asli sungai Ciliwung, salah satunya ikan kancra.
Padahal, menurutnya, pada 1910 ditemukan 187 jenis ikan asli Ciliwung yang ada. Namun seiring rusak dan terkikisnya sungai Ciliwung, hanya tersisa 10 spesies ikan yang ada. Hal tersebut merupakan gambaran salah satu dari sekian banyak dampak akibat kerusakan DAS Ciliwung.