Jumat 23 Nov 2018 08:12 WIB

Mengungkap Motif dan Pola Kasus Pembunuhan Sadis

Belakangan ini terjadi tiga pembunuhan sadis dengan motif yang hampir sama.

Polisi mengawal tersangka pelaku pembunuhan terhadap mantan wartawan Abdullah Fithri Setiawan alias Dufi, berinisial MN, seusai penangkapan di Polda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (21/11).
Foto: Antara/Nalendra
Polisi mengawal tersangka pelaku pembunuhan terhadap mantan wartawan Abdullah Fithri Setiawan alias Dufi, berinisial MN, seusai penangkapan di Polda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (21/11).

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Arif Satrio Nugroho, Rahma Sulistya

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengungkapkan telah terjadi 625 kasus pembunuhan sepanjang Januari-23 Oktober 2018. Sebagian besar kasus pembunuhan dipicu masalah pribadi.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo memerinci, dari 625 kasus pembunuhan tersebut, sebanyak 574 kasus di antaranya berhasil diungkap. "Sebanyak 80 persen dari kasus pembunuhan yang terungkap karena ada masalah pribadi," kata Dedi, di Mabes Polri, Kamis (22/11).

Dedi menjelaskan pembunuhan terjadi terjadi dengan motif sakit hati, rasa tersinggung, dan dendam yang dialami pelaku pada korbannya. Kebanyakan kasus pembunuhan juga terjadi antara korban dan pelaku yang sudah saling mengenal.

Hanya ada 20 persen kasus pembunuhan yang antara korban dan pelaku tidak saling kenal. Biasanya, kasus ini terjadi dalam aksi pencurian dan kekerasan yang mengakibatkan korban meninggal dunia.

Ia menambahkan terdapat pula motif lain, seperti atas alasan ekonomi dengan disertai perampokan hingga pembunuhan yang dilakukan secara spontanitas. Motif-motif tersebut terungkap setelah polisi melakukan penangkapan tersangka.

Dalam dua pekan ini, tiga kasus pembunuhan menonjol terjadi. Pembunuhan satu keluarga yang terdiri atas empat orang di Bekasi dilakukan oleh Haris Simamora pada Selasa (13/11). Haris membunuh keluarga tersebut karena menyimpan dendam.

Kasus berikutnya, Abdullah Fitri alias Dufi yang dibunuh oleh sepasang suami istri, Nurhadi dan SM, yang sudah ia kenal di Tangerang. Pembunuhan terjadi pada Ahad (18/11). Nurhadi dan SM membuang mayat Dufi ke dalam sebuah drum di wilayah Bogor.

Lalu, pada Selasa (20/11), seorang pemandu karaoke bernama Ciktuti Puspita dibunuh oleh dua orang yang juga merupakan rekan korban. Polisi mengatakan pelaku membunuh Ciktuti karena merasa tersinggung dengan korban dan terlibat cekcok.

Psikolog forensik Reza Indragiri mengatakan telah terjadi 70 kasus pembunuhan di wilayah hukum Polda Metro Jaya sepanjang Januari-Periode 2018. Jika dirata-ratakan, ada satu kasus pembunuhan per empat hari.

Dengan fakta tersebut, kata Reza, tiga kasus pembunuhan yang terjadi belakangan ini dinilainya merupakan hal biasa, khususnya di DKI Jakarta dan sekitarnya. Menurutnya, tiga kasus itu menjadi ramai karena ada kejenuhan masyarakat tentang terpaan berita politik yang terus-menerus.

“Boleh jadi, publik dan media jenuh dengan berita politik sehingga peristiwa kriminalitas menjadi 'penyegaran',” papar Reza, Kamis (22/11).

Angka 70 kasus pembunuhan di wilayah Polda Metro Jaya itu didapat Reza melalui data dari awal pengungkapan hingga sampai ke meja hijau. Artinya, kasus-kasus itu idealnya dilengkapi dengan berapa yang terungkap, waktu pengungkapan, berapa yang dibawa ke pengadilan, dan bagaimana variasi hukumannya.

Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Iqrak Sulhin mengatakan tiga pembunuhan sadis yang terjadi dalam waktu dekat bukan karena ada aksi meniru dari pelaku atas suatu kasus pembunuhan lainnya. Dia mengatakan pembunuhan bukan jenis kejahatan yang dapat ditiru.

"Namun, mayoritas penyebabnya sama, yaitu ada masalah interpersonal antara pelaku dengan korban," ujar Iqrak.

Mengenai perlakuan pelaku terhadap jasad korban, lanjut Iqrak, hal itu dilakukan secara situasional. Contohnya adalah jenazah Dufi yang disembunyikan di dalam drum ataupun mayat Ciktuti yang berada di dalam lemari di kosannya. Pelaku berupaya menyembunyikan jenazah korban dengan memanfaatkan barang atau kondisi di sekitar.

Iqrak mengatakan pembunuhan dengan motif dendam bisa saja terjadi karena ucapan atau perilaku yang ditujukan korban kepada pelaku. "Pelaku kemudian mendefinisikan bahwa apa yang diucapkan dan dilakukan oleh korban adalah hal yang cukup untuk jadi alasan melakukan kekerasan hingga pembunuhan," tutur dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement