Jumat 23 Nov 2018 01:07 WIB

Keluarga Korban Lion Air JT610 Gugat Boeing

Keluarga korban juga sedang meminta ganti rugi berupa uang ratusan juta dollar.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Esthi Maharani
Petugas mengecek puing pesawat Lion Air JT-610 yang jatuh di Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (7/11).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Petugas mengecek puing pesawat Lion Air JT-610 yang jatuh di Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (7/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Keluarga korban insiden kecelakaan pesawat Lion Air dengan registrasi PK-LQP nomor penerbangan  JT610 mengajukan gugatan hukum terhadap Perusahaan Boeing di Chicago, pada Jumat (16/11) lalu. Selain gugatan pertama, keluarga korban juga sedang meminta ganti rugi berupa uang ratusan juta dollar.

Manuel Von Ribbeck yang berasal dari kantor hukum Ribbeck Law Chartered mengatakan, bahwa pihaknya mengharapkan banyak tuntutan yang diajukan atas nama keluarga korban dalam beberapa hari ke depan.

"Tidak ada alasan untuk menunggu laporan akhir dari investigasi karena bisa memakan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun, laporan akhir tidak akan menetapkan kewajiban; keputusan siapa yang bersalah dalam kecelakaan ini akan ditentukan oleh hakim atau juri di Amerika," kata Von Ribbeck melalu keterangan resminya, Kamis (22/11).

Ia menuturkan, dari catatan yang dimilikinya selama mewakili keluarga korban penerbangan global termasuk beberapa keluarga dalam kecelakaan penerbangan sebelumnya di Indonesia, menuding bahwamemang pesawat Boeing MAX 8 dan manual penerbangan pesawatnya rusak dan berbahaya. Sehingga, faktor itulah penyebab langsung kecelakaan.

"Lion Air hanyalah salah satu dari beberapa maskapai yang telah membeli Boeing MAX 8 yang relatif baru," terangnya.

Disisi lain, Deon Botha yang juga berasal dari Ribbeck Law Chartered menyatakan bahwa pada Rabu (7/11), Federal Aviation Administration (FAA) mengeluarkan Pedoman Kelayakan Darurat baru pada Boeing 737 MAX yang diarahkan pada apa yang ditetapkan sebagai "kondisi tidak aman" yang mungkin ada atau berkembang di pesawat Boeing 737 MAX lainnya.

"Pesawat Boeing 737 MAX 8 yang baru itu dirancang dan diproduksi di Amerika Serikat." katanya.

Saat ini, penyelidik telah fokus pada sistem kontrol penerbangan otomatis baru pada Boeing 737 MAX yang tidak termasuk dalam versi 737 sebelumnya. Sistem kontrol penerbangan baru ini memiliki kemampuan yang bisa memperbaiki situasi di mana hidung pesawat yang meninggi ke level berbahaya selama penerbangan yang bisa mengarah ke gagal mesin.

Namun, dalam kondisi yang dialami Boeing 737 MAX 8 sistem mendorong hidung pesawat turun secara tidak terduga dan tidak dapat dikendalikan oleh awak pesawat. Kecuali jika sebelumnya awak pesawat benar-benar diinstruksikan dan dilatih untuk menghadapi situasi seperti itu, mengubah sistem secara manual untuk menghindari kecelakaan.

Fitur otomatis ini dapat dipicu bahkan ketika pilot sedang menerbangkan pesawat secara manual dan tidak mengharapkan campur tangan komputer kontrol penerbangan.

Menurut laporan di Wall Street Journal, New York Times, dan publikasi lainnya, Boeing menahan informasi tentang potensi bahaya yang terkait dengan sistem kontrol penerbangan baru ini. Regulator penerbangan A.S. telah meluncurkan tinjauan prioritas tinggi terhadap analisis keselamatan yang dilakukan Boeing selama bertahun-tahun dan informasi apa yang diungkapkan atau tidak diungkapkan kepada maskapai penerbangan tentang sistem kontrol penerbangan baru ini.

Ribbeck Law Chartered adalah firma hukum litigasi global yang berkonsentrasi pada bencana penerbangan di seluruh dunia. Perusahaan ini telah mewakili klien lebih dari 73 negara dan 47 kecelakaan pesawat penerbangan komersial. Ribbeck Law Chartered adalah salah satu dari sedikit firma hukum penerbangan dengan staf yang berpengalaman di banyak negara di seluruh dunia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement