Kamis 22 Nov 2018 16:52 WIB

ICJR: Ada Kasus Mirip Baiq Nuril Sedang Ditangani MA

Kasus terdakwa yang diadili karena menggugurkan kandungannya sedang ditangani MA.

Rep: Amri Amrullah, Flori Sidebang/ Red: Andri Saubani
Peserta aksi menunjukkan poster dan kotak donasi pada aksi Tolak Eksekusi Baiq Nuril Maknun di Taman Kamabang Iwak Palembang, Minggu (18/11/2018).
Foto: Antara/Feny Selly
Peserta aksi menunjukkan poster dan kotak donasi pada aksi Tolak Eksekusi Baiq Nuril Maknun di Taman Kamabang Iwak Palembang, Minggu (18/11/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebut ada kasus kekerasan seksual lain yang sedang diperiksa di Mahkamah Agung (MA). Kasus tersebut seperti sama seperti kasus Baiq Nuril, korban kekerasan seksual yang dikriminalisasi.

Direktur Eksekutif ICJR, Anggara mengungkapkan korban berinisial WA, anak perempuan yang diadili karena menggugurkan kandungan hasil perkosaan oleh kakak kandungnya di Jambi. Saat ini kasusnya sedang memasuki tahap pemeriksaan di tingkat kasasi.

"ICJR meminta agar MA memeriksa perkara ini dengan hati-hati dan tidak lagi melakukan kesalahan yang sama dengan menjatuhkan putusan pidana terhadap korban tindak pidana khususnya WA, yang diputus lepas di Pengadilan Tinggi," kata Anggara dalam keterangan tertulisnya, Kamis (22/11).

Dari pengamatan ICJR, perkara kasus WA ini diputuskan hakim di Pengadilan Negeri Muara Bulian pada 19 Juli 2018. Hasil putusan hakim korban WA divonis enam bulan penjara karena melakukan pengguguran kehamilan hasil perkosaan. Pelakunya adalah kakak kandung korban yang juga masih berusia anak dipidana 2 tahun penjara.

Kemudian, pada 27 Agustus 2018, Pengadilan Tinggi Jambi, dalam pemeriksaan tingkat banding Mejelis Hakim di PT Jambi dalam Perkara WA diputus bebas dari penjara enam bulan. Alasannya korban perkosaan dan melepaskannya dari segala tuntutan dengan pertimbangan adanya daya paksa ketika WA melakukan perbuatannya.

Namun, jaksa kemudian mengajukan kasasi kepada MA atas putusan lepas ini. Atas kasus ini, ICJR berharap MA harus memahami dalam kerangka perlindungan korban kekerasan seksual, terdapat prinsip-prinsip yang memang tidak dapat diabaikan. Yakni korban dalam keadaan apapun harus diberikan perlindungan yang maksimal.

"MA jelas terikat dengan PerMA 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. Harus dipahami bahwa pemidanaan terhadap WA sama sekali bukanlah hal yang tepat, mengingat posisi WA sebagai korban perkosaan yang seharusnya direhabilitasi bukan justru dipidana," kata Anggara.

MA harus membuktikan integritas lembaganya sebagai lembaga peradilan yang berkewajiban menegakkan hukum dan juga berkewajiban memberikan keadilan kepada seluruh pihak, termasuk kepada korban. Selain itu, ICJR melihat terdapat kecenderungan dari MA untuk melampaui kewenangannya sebagai "judex juris" atau mengadili penerapan hukum dalam memeriksa perkara di tingkat kasasi. Hal ini terlihat juga dalam kasus Baiq Nuril.

"MA harus berhati-hati untuk tidak melampaui kewenangannya dalam memeriksa kasus WA," katanya mengingatkan.

Dan yang tidak kalah penting, MA harus secara cermat melihat kasus WA sebagai bagian perkembangan dari teori mengenai daya paksa. Berdasarkan pada Pasal 48 KUHP yang berbunyi: “Orang yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dapat dipidana”.

Sehingga, menurt Anggara, interpretasi hukum yang tepat pun harus dibuat dan kemudian diterapkan dalam kasus-kasus seperti kasus WA ini. Di mana korban melakukan perbuatan yang digolongkan sebagai tindak pidana, namun tidak dapat dijatuhi pidana karena tidak ditemukan kesalahan. Sebab korban melakukan tindakan tersebut atas daya paksa yang tidak dapat dihindarinya, timbul dari lingkungan keluarga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement