Rabu 21 Nov 2018 09:51 WIB

Sempat Turun, Kini Kasus Malaria Mulai Meningkat Signifikan

Tidak ada kemajuan signifikan dalam mengurangi kasus malaria secara global.

Rep: Afrizal Rosikhul Ilmi/ Red: Andi Nur Aminah
Penyakit malaria
Foto: Boldsky
Penyakit malaria

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Secara signifikan kasus malaria meningkat di lebih dari 13 negara. Peningkatan ini terjadi setelah hampir dua dasawarsa terus merosot. Kekhawatiran pun muncul lantaran masih banyak yang dibutuhkan untuk melawan epidemi.

Menurut laporan Malaria Dunia 2018 oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) yang dirilis Senin (19/11), sebagaimana dilansir dari CNN, jumlah penderita banyak yang naik. Secara global, jumlah malaria meningkat sedikit dari 217 kasus pada tahun 2016 menjadi 219 pada 2017. "Tidak ada kemajuan signifikan dalam mengurangi kasus malaria global," pada laporan antara 2015 dan 2017.

Padahal sebelum itu jumlah orang yang terjangkit penyakit ini secara global telah turun. Sebanyak 10 negara dengan beban tertinggi di Afrika mengalami peningkatan kasus yang signifikan. Nigeria, Madagaskar, dan Republik Demokratik Kongo mengalami peningkatan terbesar, yakni dilaporkan ada tambahan setengah juta kasus dari masing-masing negara.

Dari 10 negara tersebut, tujuh di antaranya yakni Tanzania, Mali, Burkina Faso, Kamerun, Ghana, Uganda, dan Niger terdapat tambahan 3,5 juta orang yang didiagnosis malaria pada 2017 dan selama 2016. "Ini masalah, kami tidak lagi melihat penurunan malaria selama beberapa tahun terakhir," kata Alistair Robb, penasihat senior untuk Program Global Malaria WHO.

Wilayah WHO di Amerika juga mengalami peningkatan kasus malaria. Sebagian besar karena peningkatan jumlah pengidapnya di Brazil, Nikaragua dan Venezuela. Malaria adalah penyakit parasit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Hal ini dapat dicegah dan diobati. Namun diperkirakan 435 ribu orang meninggal di seluruh dunia pada 2017. Laporan tersebut merilis Wilayah Afrika menyumbang 92 persen dari semua kasus.

Menururt laporan itu, beberapa negara mengalami penurunan signifikan dalam jumlah kasus yang dilaporkan, terutama India, Pakistan, Ethiopia dan Rwanda. India melaporkan tiga juta kasus lebih sedikit. Sedangan Rwanda 430 ribu lebih sedikit pada tahun 2017. Para ahli menggembar-gemborkan negara-negara ini sebagai contoh, terutama bagi negara-negara dengan kasus yang meningkat.

Robb menjelaskan, keberhasilan di empat negara ini mengarah pada komitmen politik, menjangkau populasi yang terpinggirkan dan secara efisien menggunakan sumber daya, seperti kelambu dan obat-obatan. "Di banyak bagian Afrika, banyak orang masih tidak memiliki akses," kata Robb.

Di negara-negara Afrika dimana orang-orang yang paling membutuhkan seperti masyarakat yang terpinggirkan dan rentan, tidak dapat mengakses sumber daya pengobatan dan pencegahan. Ia menambahkan, hal ini mengakibatkan mereka rentan terhadap infeksi.

Robb minta agar pihak-pihak terkait tetap waspada, melihat peningkatan kasus di Nikaragua dan Venezuela terus terjadi selama tiga tahun terakhir. Begitu juga di Brazil dalam dua tahun terakhir.

Venezuela mengalami peningkatan terbesar di benua itu, dengan 411 ribu kasus pada 2017, naik dari 136 ribu pada 2015. Namun, Robb menjelaskan, Amerika Selatan secara keseluruhan memiliki beban malaria yang rendah, dengan persentase kurang dari 2 persen dari beban global. "Ini menghasilkan pola transmisi yang berbeda," jelas Robb.

Selain itu, orang-orang di sana memiliki lebih sedikit kekebalan alami terhadap malaria. Kegagalan untuk mempertahankan sumber daya di sana dapat menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam jumlah kasus. "Pengenalan orang yang terinfeksi dapat memulai wabah," kata Wirth.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement