Ahad 18 Nov 2018 22:51 WIB

Oso Disebut Memang tak Berkeinginan Ikuti Putusan MK

Tuntutan Oso membuat penting melihat ancaman keberadaan MK.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Indira Rezkisari
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Odang (Oso), disebut memang tak berkeinginan mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait persyaratan pencalonan perseorangan menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Itu karena ia tak menggunakan jeda waktu antara dikeluarkannya putusan MK dengan pengumuman Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPD untuk memenuhi persyaratan.

"Kita harus bedakan unable sama unwilling. Kalau melihat gelagat waktu itu, yang sampai bilang MK goblok, ada unwillingness dari Pak Oso untuk mengakui putusan itu benar," jelas pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, dalam diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Ahad (18/11).

Selain itu, kata dia, peristiwa lain yang harus dilihat kembali adalah adanya ancaman terhadap keberadaan MK yang harus ditinjau ulang. Atas dasar itu, Bivitri melihat, apa yang dilakukan Oso adalah ketidakmauan bukan ketidakbisaan.

"Kenapa 200 lebih (bakal calon anggota DPD) bisa mundur atau memenuhi syarat tambahan (menyatakan mundur atau bukan pengurus partai politik)," katanya.

Karena ketidakmauan itu juga ia nilai menjadi sebab mengapa Oso memperkarakan aturan tersebut ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Mahkamah Agung (MA), dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dari sana, Oso hanya kalah di Bawaslu dan menang atas Komisi Pemilihan Umum (KPU) di MA dan PTUN.

"Kita mesti lihat kewenangan konstitusional MK, memutuskan konstitusionalitas undang-undang (UU). Yang diubah norma UU dan KPU sendiri jelas sekali (berdasarkan) UU Pemilu dalam menyelenggarakan pemilu. Patokan itu UU, putusan MK konkret mengubah UU Pemilu," jelasnya.

Ia menjelaskan, putusan retroaktif atau berlaku surutnya suatu putusan harus dilihat konteksnya terlebih dahulu. Tidak semata-mata melihat tanggal yang ada di kalender. Konteks dari perkara ini adalah pemilu yang bermain dalam tahapan-tahapan.

"Kalender satu hal. Tapi jangan lupa tahap-tahap pemilu itu baru berhenti tahap pendaftaran pas DCT diumumkan. Putusan MK itu pas DCS (Daftar Calon Sementara)," kata dia.

Ia menambahkan, jeda waktu sejak putusan MK keluar hingga ke penetapat DCT tidak sebentar bahkan sampai berminggu-minggu. KPU pun sudah mengirim surat kepada semua calon soal putusan MK yang mengatur soal syarat baru untuk mujdur dari pengurus partai politik.

"Dengan itu, data di atas 200 orang bisa memenuhi itu karena waktu lama. Cuma Pak Oso yang tidak bisa. Sebenarnya kita harus bedakan unable sama unwilling," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement