Ahad 18 Nov 2018 00:50 WIB

Peneliti LSI: Jangan Sampai Kampanye Pilpres 2019 Seperti AS

Sehingga, isu-isu tersebut juga yang paling membekas di benak masyarakat AS.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Israr Itah
Peneliti LSI Adjie Alfaraby menyampaikan survei Berubahnya Dukungan Partai Politik Menjelang 2019 di Kantor LSI, Jakarta Timur, Rabu (12/9).
Foto: Republika/Bayu Adji P
Peneliti LSI Adjie Alfaraby menyampaikan survei Berubahnya Dukungan Partai Politik Menjelang 2019 di Kantor LSI, Jakarta Timur, Rabu (12/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pimpinan Denny JA, Adjie Alfaraby, berharap kampanye pemilihan presiden (pilpres) 2019 mendatang tidak seperti kampanye pilpres di Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Menurut Adjie, dalam kampanye Pilpres AS 2016, isu yang muncul lebih banyak berkaitan personal dari masing-masing kandidat dibandingkan program. Sehingga, isu-isu tersebut juga yang paling membekas di benak masyarakat AS.

"Jadi karena masifnya yang muncul di Amerika terkait isu-isu yang sifatnya personal, itu membunuh agenda yang terkait dengan program-program, atau kebijakan. Itu yang kita khawatirkan di Indonesia terjadi seperti itu," ujar Adjie di Jakarta, Sabtu (17/11).

Ia menilai, potensi tersebut sudah nampak mengemuka di kampanye pilpres saat ini. Di mana dalam 1,5 bulan terakhir tidak banyak muncul gagasan substantif dari kedua pasangan calon. Menurutnya, lebih banyak isu-isu tidak terkait dengan gagasan, visi-misi, maupun program dari kedua pasangan calon.

"Dalam 1,5 bulan kampanye berjalan memang yang jadi top isu itu yang sifatnya sensasional. Mulai dari kasus hoaks Ratna, politik sontoloyo, tampang Boyolali, itu yang kemudian jadi top isu mendominasi di media atau media sosial," ujar Adjie.

Adjie menilai, konsekuensi jika isu-isu tersebut justru lebih banyak muncul, akan membuat pemilih antipati terhadap kandidat di pilpres. Karena, masyarakat tidak mendapat pilihan yang baik dari masing-masing kandidat.

"Saya khawatir masing-masing kandidat atau timses akan membawa pemilih, pemilih menilai kandidat sama-sama buruk, sehingga memilih terbaik dari paling buruk, bukan terbaik dari yang baik, kalau pilihan itu tidak muncul berujung pada sikap antipati ke pilpres itu," ujar Adjie.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement