Kamis 15 Nov 2018 11:38 WIB

ITB Kembangkan 'Masaro' Untuk Atasi Masalah Sampah

Sampah jika diolah, ternyata bisa membawa manfaat sekaligus menambah nilai ekonomi.

Rep: Zuli Istiqomah/ Red: Andi Nur Aminah
Pekerja mengolah sampah pasar dengan fasilitas mesin pengomposan (ilustrasi)
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Pekerja mengolah sampah pasar dengan fasilitas mesin pengomposan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Persoalan sampah menjadi masalah yang hampir terjadi di berbagai daerah. Sampah seringkali dianggap barang yang sudah tak berguna. Ditambah lagi, masih ada kebiasaan sebagian masyarakat yang membuang sampah sembarangan sehingga berdampak pada kerusakan lingkungan.

Pakar dari Institut Teknologi Bandung (ITB) pun tergerak melihat kondisi tersebut. Dia berpendapat harus ada penyadaran terhadap masyarakat tentang pengelolaan sampah yang baik, dimulai dari sampah rumah tangga. Sampah jika diolah, ternyata bisa membawa manfaat sekaligus menambah nilai ekonomi.

Kepala Laboratorium Teknologi Polimer dan Membran ITB Akhmad Zainal Abidin mengembangkan programnya Manajemen Sampah Zero (Masaro). Masaro merupakan konsep pengelolaan dan pengolahan sampah yang bisa menjadi solusi dalam menanggulangi sampah di Indonesia.

Dosen dari KK Perancangan dan Pengembangan Produk Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri (FTI) ITB itu mengatakan, prinsip yang dilakukan Masaro antara lain pemilahan sampah langsung di sumber. Juga pengolahan sampah di dekat sumber, pelibatan masyarakat, pemerintah, dan industri.

photo
Petugas saat memilah sampah (ilustrasi)

Untuk mengajak masyarakat agar memilah sampah di sumbernya langsung, tugas pemerintah melakukan edukasi masyarakat, kemudian menyediakan fasilitas untuk mengolah sampah yang mengandung bahan berbahaya (B2). Sementara industri melakukan recycle dan recovery. Selanjutnya ialah menerapkan teknologi ramah lingkungan, dan terakhir membuat manajemen untuk program sustanability.

"Konsep ini telah terbukti bukan hanya mampu mengatasi masalah sampah tetapi juga memberikan pendapatan tambahan bagi masyarakat yang terlibat," katanya seperti dalam siaran pers ITB, Kamis (15/11).

Sebelum tercetusnya Masaro, Laboratorium Teknologi Polimer dan Membran (LTPM) ITB melakukan riset pada 2009 mengenai pengolahan sampah plastik menjadi bahan bakar melalui proses pirolisis. Proses pirolisis sampah plastik merupakan proses dekomposisi senyawa organik yang terdapat dalam plastik melalui proses pemanasan katalitik dengan tanpa melibatkan oksigen.

Riset tersebut berhasil dan dapat menghasilkan bahan bakar minyak dengan nilai oktan yang bagus. "Ada tiga fokus riset yang telah dilakukan oleh LTPM yakni pengolahan sampah menjadi penguat jalan aspal (plastipal), dan kedua menjadi BBM, ketiga dari sampah styrofoam menjadi zat pembersih sulfur untuk solar pertamina.

Skema industri pengolahan sampah Masaro sendiri diawali dengan pemilahan sampah oleh masyarakat menjadi beberapa jenis. Pertama sampah yang membusuk. Sampah kategori ini dicacah lalu diolah sehingga bisa menghasilkan pupuk organik cair, konsentrat pakan organik cair, dan media tanam dalam polybag.

photo
Mengelola sampah plastik (ilustrasi)

Kedua, adalah sampah plastik film. Sampah kategori ini pertama dilakukan shredding terlebih dulu baru diolah dengan alat tertentu hingga menghasilkan BBM dan Plastipal. Ketiga, sampah daur ulang (plastik kemasan, keras, logam dan kaca). Sampah jenis ini dipilah dan di press sehingga dapat menjadi bahan baku industri kreatif dan industri daur ulang yang mengolah kembali plastik, logam, kertas dan gelas yang sudah terpilah.

Terakhir untuk sampah bakar, sampah ini dipilah dulu menjadi sampah bakar non B2 atau tidak mengandung bahan berbahaya dan sampah bakar B2. Sampah bakar non B2 menjadi bahan bakar unit produksi BBM dan abu hasil pembakarannya menjadi bahan media tanam.

Cara pemanfaatan energi seperti ini telah berhasil menjadikan unit produksi BBM Masaro profitable. Sampah bakar B2 bisa diinsenerasi di insinetator spesial B2, yang seyogyanya dilakukan oleh Pemda setempat.

Hal terpenting dari Masaro adalah kemampuannya untuk mengolah seluruh sampah dan menjadikannya produk yang memiliki manfaat dan nilai ekonomis yang tinggi. Seperti pengolahan sampah plastik kresek dan bungkus makanan menjadi bahan bakar minyak pengganti minyak tanah dan penguat jalan aspal. Serta pengolahan satu kilogram sampah membusuk menjadi 10 liter pupuk/pakan organik cair yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk sawah satu hektare dari awal sampai panen. "Melalui skema ini, sampah betul-betul menjadi zero," katanya.

photo
Warga membakar sampah dipinggir jalan. (ilusrasi)

Zainal menjelaskan, konsep Masaro sudah diterapkan di Indramayu, Cilegon, dan Cirebon. Responsnya sangat baik, dengan kolaborasi antara pemerintah dan industri. "Konsep ini bisa diterapkan dan berjalan dengan lancar," katanya.

Dengan Masaro, tambahnya, pemerintah bisa lebih menghemat anggaran dalam pengolahan sampah. Bahkan, pemerintah bisa menghasilkan nilai ekonomi lain dari sampah tersebut.

Produk Masaro berupa pupuk cair bisa diaplikasikan untuk pertanian dan perkebunan. Contohnya, untuk tanaman padi, hasil panen menjadi lebih banyak dan lebih berkualitas, rumput liar yang tumbuh lebih sedikit, hama sangat berkurang. Tanah juga semakin subur, dan biaya perawatan padi lebih murah hingga dua pertiga.

Terhadap buah-buahan, ternyata mampu meningkatkan jumlah dan besarnya buah. Sedangkan terhadap sayuran ukurannya menjadi lebih besar, lebih tahan hama, dan tak mudah layu setelah dipanen.

Dia megatakan, aplikasi Masaro dapat menghilangkan TPS dan TPA dan berpotensi mengurangi beban APBN dan APBD. Serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya dalam bidang pertanian dan peternakan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement