Senin 12 Nov 2018 08:56 WIB

Umrah, Azimat Ibu, dan Visi Saudi 2030

Umrah bersama keluarga merupakan bentuk kecintaan, terutama kepada ibunda.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Beberapa hari lalu saya melaksanakan ibadah umrah untuk kesekian kali. Cuaca di Tanah Suci akhir Oktober memasuki awal November sangat sejuk. Matahari selalu tertutup awan.  Bahkan, selama kami di Madinah, beberapa kali turun hujan pada sore hari. Sekali hujan es sebesar kerikil yang menimbulkan suara gemericik ketika mengenai atas mobil.

Cuaca sejuk membuat ibadah semakin khusuk mengasyikkan. Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi penuh sesak setiap tiba waktu shalat, hingga pelataran. Jamaah umrah di dua masjid itu bahkan masih lebih ramai dibandingkan musim haji 1979, ketika saya pertama kali melaksanakan ibadah haji bersama kedua orang tua. Waktu itu, 39 tahun lalu, mencium Hajar Aswad, shalat di Hijir Ismail dan di Roudloh bukan hal yang sulit.

Cuaca sejuk Oktober dan November ini tampaknya dimanfaatkan betul oleh umat Islam dari berbagai penjuru dunia buat berumrah, termasuk dari Indonesia. Bahkan, di antara mereka banyak keluarga-keluarga yang juga melaksanakan umrah--kakek-nenek, ayah-ibu, dan anak-anak.

Hal ini tentu sangat baik, lantaran ibadah umrah sarat makna. Antara lain menumbuhkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, meneladani Siti Hajar, dan pelajaran-pelajaran berharga lainnya.

Siti Hajar adalah istri Nabi Ibrahim AS dan ibunda Nabi Ismail AS. Ketika Ismail masih bayi, Nabi Ibrahim mendapatkan perintah dari Allah SWT untuk pergi dari wilayah yang kemudian dikenal sebagai Mekah itu dan meninggalkan isterinya. Sepeninggal Nabi Ibrahim, Siti Hajar pun kehabisan air sementara bayinya terus menangis.

Dalam kondisi panik, Hajar pun berlari-lari kecil mendaki dua bukit terdekat secara berulang-ulang berharap mendapatkan air. Setelah tujuh kali mendaki, menurut sebuah riwayat, Malaikat Jibril kemudian menyelamatkan Ismail dengan memberinya mata air yang tidak jauh dari kaki si bayi itu.

Mata air ini disebut zamzam yang terletak dekat Ka’bah. Dua bukit itu kemudian dikenal sebagai Shafa dan Marwa. Pelajaran dari Siti Hajar: terus berusaha dan berdoa tiada henti, Allah SWT yang menentukan hasilnya!

Ibadah umrah saya kali ini bersama rombongan Tuan Guru Bajang (TGB) Dr Muhammad Zainul Majdi MA. Ketua Organisasi Internasional Alumni Al Azhar cabang Indonesia (OIAA) ini September lalu melepaskan jabatan gubernur NTB setelah dua periode mengabdi.

Ia berumrah bersama istri, dua putrinya yang masih kecil, ibunda, dan adik perempuannya. Menurut dia, umrah bersama keluarga ini sebagai bentuk kecintaan kepada mereka, terutama kepada ibundanya, yang selama 10 tahun jadi gubernur sangat sibuk.

Bagi TGB, ibu adalah segalanya. Ia merupakan azimat atau jimat dengan segala maknanya. Perintah dan permintaannya tidak boleh ditolak dan larangannya haram diterabas. Ia adalah rambu-rambu, petunjuk, pelindung, dan curahan hati. Selama di Tanah Suci, TGB sering terlihat mendorong sendiri kursi roda ibunya sambil membimbing kedua putrinya.

Seperti halnya TGB, saya mengenal beberapa anak muda sukses yang juga menjadikan orangtua, khususnya ibu, sebagai azimat. Seorang di antaranya adalah Sandiaga Salahuddin Uno, pengusaha sukses yang kini menjadi politisi.

Beberapa kali saya memergoki Sandi sedang mengobrol dan bercengkerama dengan sang ibunda. Sandi mengatakan, ibundanya merupakan wanita paling indah yang pernah ada.

Beberapa kali saya bertemu Sandi justru di mushala hotel berbintang ketika kami sama-sama sedang melaksanakan shalat. Menurut calon wakil presiden ini, shalat merupakan salah satu ibadah yang diwanti-wanti ibundanya untuk ditunaikan tepat waktu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement