Jumat 09 Nov 2018 09:20 WIB

Sigma: Format Koalisi Hanya Untungkan PDIP dan Gerindra

Sigma mengomentari survei yang memprediksi hanya lima parpol bisa lolos ke Senayan.

Rep: Afrizal Rosikhul Ilmi/ Red: Bayu Hermawan
Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin
Foto: bawaslu.go.id
Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin menilai, hasil survei syang memprediksi hanya lima parpol yang bisa lolos parlementary threshold Pemilu 2019, mengindikasikan ada yang salah dengan format kerja sama atau koalisi parpol. Menurutnya, koalisi parpol di pilpres seharusnya dilandasi asas saling menguntungkan.

"Ketika parpol bersedia memberikan tiket pencalonan kepada capres-cawapres, disitu semestinya ada kesepakatan timbal balik," katanya, Kamis (8/11).

Menurutnya, selain kompensasi berupa kursi kabinet, bentuk timbal balik penting lainnya bagi parpol adalah bagaimana capres-cawapres bisa ikut membantu dalam meningkatkan elektabilitas parpol pengusungnya agar bisa lolos parliamentary threshold (PT) sebesar 4 persen secara nasional.

"Dengan lolos PT, maka parpol dalam barisan koalisi kelak dapat melanjutkan kerjasama politiknya dengan capres-cawapres terpilih melalui parlemen guna mengamankan program-program pemerintahan baru yang dibentuk," katanya.

Said mengomentari surve sejumlah lembaga yang mengatakan, Meski pilpres dimenangkan oleh pasangan capres-cawapres nomor urut 1, maka hal itu tidak dibarengi dengan keberhasilan partai pengusung pada hasil survei Pileg seperti PPP, Partai Hanura dan Nasdem.

"Begitu juga dalam hal Pilpres dimenangkan oleh kubu pasangan capres-cawapres nomor urut 2, sementara hasil survei malah menunjukan PKS dan PAN akan tergusur dari DPR," katanya.

Ia menambahkan, partai Demokrat pun menurut beberapa hasil survei terakhir akan menempati posisi paling buncit di parlemen. Bahkan menurutnya ada survei yang mengatakan Demokrat tidak akan lagi punya wakil di DPR.

"Hasil dari survei-survei itu kan aneh sekali. Tentu saja keanehannya bukan pada empat lembaga yang melakukan survei terakhir, seperti Indikator, Populi Center, Kompas, dan Alvara Research Center. Kalaupun ada yang meragukan kredibilitas mereka, itu soal lain," kata dia.

Menurutnya, menjadi sebuah pertanyaan besar ketika parpol koalisi yang sudah lebih dari satu bulan jungkir-balik berkampanye untuk kedua pasangan, justru berpeluang gagal memiliki wakil di DPR.

"Kalau PDIP dan Partai Gerindra diprediksi akan mengungguli parpol-parpol yang lain, itu wajar. Sebab Joko Widodo (Jokowi) kader PDIP, sementara Prabowo Subianto adalah Ketua Umum Partai Gerindra. Ada 'presidential effect' disitu," tambah dia.

Selain itu, hal yang sama juga terjadi pada PKB yang diperkirakan akan bertambah suaranya karena terdongkrak oleh cawapres Ma'ruf Amin.

Said melihat ada yang salah dalam format kerjasama politik diantara parpol koalisi dengan capres-cawapres. "Boleh jadi, model kampanye yang di set oleh TKN dan BPN kurang tepat, sehingga tidak cukup menguntungkan bagi parpol koalisinya, diluar PDIP, Gerindra dan PKB," katanya.

Oleh sebab itu, lanjut dia, perlu ada pembaruan format kerjasama politik di antara parpol dengan masing-masing capres-cawapres, khususnya dalam model kampanye yang dikembangkan. Sebab, jika tidak diperbaiki, Said mengira hasil survei di atas memiliki kemungkinan besar akan benar-benar terjadi.

"Dengan hanya lima parpol di Senayan, maka hampir dapat dipastikan akan terjadi perubahan yang sangat besar dalam peta politik nasional ke depan," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement