REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami peran mantan sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi dalam pengurusan perkara yang terkait Lippo Group di pengadilan. Penyidik mendalami sejumlah fakta-fakta persidangan yang pernah muncul dalam perkara Edy Nasution sebelumnya.
“Peran-peran Nurhadi didalami penyidik dalam pengurusan perkara yang terkait Lippo Group di pengadilan dalam kapasitas Nurhadi saat itu sebagai sekretaris MA," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Selasa (6/11).
KPK pada Selasa memeriksa Nurhadi sebagai saksi untuk tersangka Eddy Sindoro (ESI) dalam penyidikan kasus suap terkait pengajuan peninjauan kembali (PK) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. "Didalami juga pengetahuan saksi serta hubungan saksi dengan tersangka ESI dalam proses penanganan perkara," ucap Febri.
Menurut Febri, ada dua perkara ini diduga ada kaitan dengan kepentingan pihak Lippo Group. Selain kasus di PN Jakpus, kasus lainnya, yakni kasus suap pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi yang juga sedang ditangani KPK saat ini.
"Jadi, jika dalam kasus dugaan suap terkait proyek Meikarta, KPK mendalami dugaan suap terkait proses perizinan, dalam kasus ini KPK mendalami dugaan suap terkait dengan proses perkara di pengadilan," tuturnya.
Usai diperiksa, Nurhadi memilih irit bicara. Ia pun mengaku tidak pernah bertemu dengan tersangka Eddy Sindoro yang merupakan mantan petinggi Lippo Group.
"Sama sekali tidak ada, tanya penyidik sajalah," ucap Nurhadi yang diperiksa sekitar enam jam tersebut.
Sebelumnya, tersangka Eddy Sindoro telah menyerahkan diri ke KPK pada Jumat (12/10) setelah sebelumnya sejak April 2016 sudah tidak berada di Indonesia. KPK sudah menetapkan Eddy Sindoro sebagai tersangka sejak November 2016 lalu.
Eddy diduga memberikan hadiah atau janji kepada penyelenggara negara terkait pengurusan perkara di Pengadilan Jakarta Pusat (PN Jakpus). Hadiah atau janji itu sehubungan permohonan bantuan pengajuan Peninjauan Kemabali di PN Jakpus.
Sudah ada dua orang yang menjalani vonis terkait perkara ini, yaitu panitera sekretaris PN Jakpus Eddy Nasution dan perantara suap Dody Arianto Supeno. Doddy sudah divonis empat tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan, sedangkan Edy Nasution divonis 5,5 tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta subsider dua bulan kurungan.
Dalam putusan Edy Nasution disebutkan bahwa uang 50 ribu dolar AS untuk pengurusan peninjauan kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL) yang diputus pailit oleh mahkamah agung melawan PT First Media. Edy pun menerima uang dari salah satu kuasa hukum yang baru dari Law Firm Cakra & Co, yaitu Austriadhy 50 ribu dolar AS, yang terbungkus dalam amplop warna cokelat.
Eddy Sindoro pernah bertemu dengan Nurhadi menanyakan mengapa berkas perkara belum dikirimkan. Nurhadi sempat menelepon Edy Nasution untuk mempercepat pengiriman berkas perkara PK.
Namun, Nurhadi mengatakan, itu dalam rangka pengawasan. Edy Nasution juga mengakui menerima 50 ribu AS dari Dody di mana uang tersebut ada kaitannya dengan pengurusan dengan perkara Lippo.
Dalam perkembangan penanganan perkara tersebut, KPK juga telah menetapkan advokat Lucas (LCS) sebagai tersangka merintangi penyidikan dengan tersangka Eddy Sindoro.