Senin 05 Nov 2018 16:42 WIB

Cerita Judi dan Balia di Petobo

Mengenai balia, beberapa warga memang menjalankan ritual itu.

Alat berat membersihkan sisa bangunan dan meratakannya dengan tanah di area bekas gempa dan pencairan tanah (likuifaksi) di Kelurahan Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (31/10). Lokasi yang hancur akibat gempa dan likuifaksi itu kini mulai dibersihkan dan diratakan untuk mengurangi trauma warga.
Foto: Mohammad Hamzah/Antara
Alat berat membersihkan sisa bangunan dan meratakannya dengan tanah di area bekas gempa dan pencairan tanah (likuifaksi) di Kelurahan Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (31/10). Lokasi yang hancur akibat gempa dan likuifaksi itu kini mulai dibersihkan dan diratakan untuk mengurangi trauma warga.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh A Syalaby Ichsan

PALU -- Menjelang senja, Maryana (42 tahun) tengah bercengkerama dengan pengungsi lainnya. Penyintas bencana likuefaksi di Petobo, Sulawesi Tengah, itu masih menunggu giliran untuk mandi. Maklum saja, perempuan yang sehari-hari berjualan gas elpiji tersebut harus berbagi kamar mandi dengan ratusan warga di hunian sementara (huntara) di pinggir Jalan Jepang, Petobo.

Di tengah penantiannya, Maryana berbincang dengan Republika pada pekan lalu. Dia mengeluhkan adanya tudingan masyarakat jika Petobo merupakan kampung maksiat. Di dunia maya, Petobo kerap diidentikkan dengan daerah judi. Beberapa media daring pun menyamakan Petobo dengan Las Vegas.

Tidak hanya judi, Petobo pun terkenal dengan praktik balia, sama seperti di daerah lain yang didiami warga asli suku Kaili. Balia merupakan ritual untuk menyembuhkan orang sakit lewat dukun dan penyembelihan hewan. Tiga tahun belakangan ini, Pemerintah Kota Palu memasukkan ritual ini dalam Festival Palu Nomoni.

Maryana menolak tudingan Petobo sebagai kampung maksiat. Menurut dia, praktik judi yang beredar di beberapa media tidak sepenuhnya benar. "Kami bukan kampung maksiat atau kampung judi, yang ada itu hanya sabung ayam," ujar dia.

Dia menjelaskan, permainan sabung ayam sudah berlangsung turun-temurun di Petobo. Ketika ditanya apakah ada unsur judi dalam sabung ayam itu, Maryana menolak menjawab.

Mengenai balia, warga suku Kaili yang sudah tinggal di Petobo turun-temurun ini menjelaskan, beberapa warga memang menjalankan ritual itu. Terakhir kali adat ini dilakukan pada Idul Adha lalu.

Maryana berkisah, adik dari ibunya menderita komplikasi penyakit gula, asam urat, reumatik, hingga ginjal. Dia pun memutuskan untuk melakukan Balia. "Sudah dibawa ke dokter mana-mana tidak sembuh."

Untuk melakukan balia, seorang penderita sakit butuh biaya tidak murah. Awad Dachrud, adik ibunya itu harus mengeluarkan uang senilai Rp 25 juta. Uang itu dibelanjakan untuk membeli dua ekor kambing, belasan ekor ayam, telur, nasi, sajian kue, ketupat, rokok, dan sangu untuk ibu balia—seorang dukun yang dipercaya dapat menjadi media penyembuh penyakit.

Awad dikurung di dalam sarung. Dia lantas dikelilingi oleh tetua adat dan tetamu. Mereka menari diiringi oleh tabuhan suara gendang dan mantra-mantra. "Setelah itu, dia keluar terus meracau dan menari kayak orang kesurupan," ujar Maryana.

Bersambung ke halaman berikutnya..

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement