REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mantan Kepala Pusat Administrasi Keuangan dan Pengelolaan Aset (AKPA) Dudy Jocom dituntut 8 tahun penjara ditambah Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti Rp4,2 miliar karena melakukan korupsi pengadaan pembangunan Gedung Kampus IPDN Bukittinggi TA 2011.
"Menuntut, agar majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan terdakwa Dudy Jocom terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Dudu Jucom dengan pidana penjara selama 8 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan," kata jaksa penuntut umum (JPU) Budi Nugraha di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (1/11) malam.
Tuntutan itu berdasarkan dakwaan subsider pasal 3 jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. JPU KPK juga menuntut pembayaran uang pengganti yang berasal dari uang yang sudah dinikmati oleh Dudy Jucom dari proyek tersebut.
"Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa Dudy Jucom untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp4,2 miliar selambat-lambatnya 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, jika dalam waktu tersebut tidak dibayar maka harta benda terdakwa disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti, dalam hal terdakwa tidak punya harta yang cukup untuk membayar uang pengganti, terdakwa dipidana penjara selama 2 tahun," ungkap jaksa Budi Nugraha.
JPU juga membacakan sejumlah hal yang memberatkan dalam perbuatan Dudy. "Terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme. Terdakwa berbelit-belit dan tidak mengakui perbuatannya. Terdakwa tidak menyesali perbuatannya," tambah Budi.
Dalam perkara ini, Dudy Jucom adalah Kuasa Pengguna Anggaran dan Pejabat Pembuat Komitmen untuk TA 2011 untuk proyek pembangunan kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dengan pagu anggaran total Rp519,482 miliar, termasuk di dalamnya kampus IPDN Bukittinggi di kabupaten Agam sebesar Rp127,893 miliar.
Pada Juni 2011, setelah penetapan setelah penetapan hasil prakualifikasi tersebut. Dudy bertemu dengan SM Pemasaran Divisi Gedung PT Hutama Karya (Persero) Bambang Mustaqim dan disepakati bahwa yang akan mengerjakan proyek pembangunan kampus IPDN Bukit Tinggi Agam adalah PT Hutama Karya sehingga dokumen penawaran untuk peserta lelang lainnya dibuatkan oleh PT Hutama Karya.
Atas sepengetahuan Dudy, panitia pengadaan memanipulasi sistem Penilaian Evaluasi Administrasi dan teknis untuk memenangkan PT Hutama Karya dengan harga penawaran Rp125,686 miliar.
"Setelah penandatangan kontrak tersebut, terdakwa melakukan pertemuan dengan General Manager PT Hutama Karya Budi Rahmat Kurniawan di ruangan terdakwa. Terdakwa memperkenalkan Mulyawan kepada Budi Rahmat Kurniawan sambil meminta agar terkait 'commitment fee' proyek pembangunan gedung kampus IPDN Bukittinggi Agam diserahkan kepada Mulyawan dan disanggupi Budi," ungkap jaksa. Uang diserahkan sebesar Rp500 juta di kantor Mulyawan untuk Dudy.
Namun PT Hutama Karya mensubkontrakkan seluruh pekerjaan utamanya antara lain meliputi pekerjaan mekanikal elektrikal, struktur dan arsitektur kepada pihak lain yang seluruhnya bernilai sebesar Rp35,018 miliar tanpa persetujuan tertulis dari Dudy.
PT Hutama Karya juga melakukan subkontrak fiktif terhadap pekerjaan yang seolah-olah dikerjakan oleh CV Prima Karya, CV Restu Kreasi Mandiri dan PT Yulian Berkah Abadi yang seluruhnya bernilai sebesar Rp8,27 miliar.
Dudy juga tidak melakukan pemeriksaan dan penilaian hasil pekerjaan pembangunan gedung kampus IPDN Bukittinggi karena pekerjaan baru mencapai 32 persen namun seolah-olah telah selesai 100 persen sehingga Kemendagri membayarkan kepada PT Hutama Karya Rp110,832 miliar.
Atas perbuatannya, Dudy juga memperkaya orang lain yaitu Hendra sebesar Rp3 miliar, General Manager PT Hutama Karya Budi Rachmat Kurniawan sebesar Rp571 juta, Mohamad Rizal sebesar Rp500 juta, Bambang Mustaqim sebesar Rp500 juta, Sri Kandiyati sebesar Rp100 juta, PT Hutama Karya seluruhnya Rp22,085 miliar yang berasal dari pengalihan pekerjaan utama kepada pihak ketiga sebesar Rp13,810 miliar dan pencairan subkontrak fiktif sebesar Rp8,275 miliar sehingga menyebabkan kerugian negara Rp34,804 miliar.