Rabu 31 Oct 2018 16:15 WIB

Fahri Jelaskan Mekanisme Pergantian Pimpinan DPR RI

Mekanisme pergantian pimpinan DPR hanya bisa dilakukan terkait beberapa hal.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Ratna Puspita
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah usai memberikan laporan tambahan terkait dugaan pencemaran nama baik di Polda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (2/5).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah usai memberikan laporan tambahan terkait dugaan pencemaran nama baik di Polda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (2/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penetapan tersangka Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan tidak serta merta menggugurkan posisinya di DPR meski Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan status tersangka Taufik, pada Selasa (30/10). Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyebut mekanisme pergantian pimpinan DPR hanya bisa dilakukan terkait beberapa hal. 

Pertama, ia menyebut jika pimpinan tersebut meninggal dunia. Kedua, jika negara dalam perspektif hukum memanggilnya. Namun dalam poin hukum tersebut, pimpinan tersebut bisa diganti jika sudah berstatus terdakwa sebagaimana diatur dalam Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

"Apabila negara dalam perspektif hukum memanggilnya, dan ini ditentukan apabila statusnya sudah menjadi dalam aturan UU MD3 itu sudah terdakwa," ujar Fahri di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/10) malam.

Karena itu, penetapan Taufik sebagai tersangka tak membuatnya kemudian diganti dari kursi pimpinan. Akan tetapi, Fahri kembali melanjutkan, posisi pimpinan DPR dapat diganti jika anggota itu dihukum secara etik oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) atau pimpinan yang bersangkutan mengundurkan diri.

"Apabila empat hal ini terjadi, barulah pimpinan DPR itu diganti. Nah kita tentu menunggu karena ini semua dalam proses yang belum selesai," kata Fahri.

"Itu semua proses hukumnya ada, detail, clear, tidak ada kontroversi, tidak ada istilahnya lubang multiinterpretasi. Jadi kita tunggu saja. Jadi ada wilayah hukum, ada wilayah etik. Hukum tentang fakta, etik tentang rasa," katanya.

Ia melanjutkan, hak imunitas Taufik sebagian hilang saat menjadi tersangka. Kendati demikian, Taufik masih dapat menempuh upaya praperadilan atas penetapan tersangka tersebut.

"Beliau bisa melakukan praperadilan kalau beliau mau. Karena sekarang penetapan tersangka bisa dipraperadilankan," kata Fahri.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan periode 2014-2019 sebagai tersangka kasus suap. Politikus PAN ini diduga menerima gratifikasi dalam pengurusan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupaten Kebumen yang bersumber dari APBN tahun anggaran 2016 senilai Rp 100 miliar. 

Penetapan tersangka ini merupakan hasil pengembangan perkara operasi tangkap tangan (OTT) di Jawa Tengah pada pertengahan Oktober 2017. "TK, Wakil Ketua DPR RI periode tahun 2014-2019 diduga menerima hadiah atau janji,” kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di gedung KPK, Jakarta, Selasa (30/10).

Basaria menjelaskan, Taufik diduga menerima suap sebesar Rp 3,65 miliar terkait pengurusan pengalokasian DAK untuk Pemkab Kebumen. Suap itu diduga merupakan bagian dari fee sebesar lima persen dari total anggaran yang dialokasikan untuk Kabupaten Kebumen. 

Pasal 87 ayat satu UU MD3 menyebutkan pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) berhenti dari jabatannya karena meninggal dunia, mengundurkan diri; atau diberhentikan.

Lalu, pada ayat (2) menyebutkan pimpinan DPR diberhentikan apabila:

a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;

b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR berdasarkan keputusan rapat paripurna setelah dilakukan pemeriksaan oleh Mahkamah Kehormatan DPR;

c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; 

d. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 

e. ditarik keanggotaannya sebagai anggota DPR oleh partai politiknya; 

f. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; atau 

g. diberhentikan sebagai anggota partai politik berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement