Selasa 30 Oct 2018 06:05 WIB

Indonesisch Clubgebouw : Mengenang Bangsal Kramat 106

Asal muasak sumpah pemuda ternyata digodok di rumah kost di bilangan Kramat.

 Sejumlah pelajar melakukan kunjungan ke Museum Sumpah Pemuda di Jakarta Pusat, Selasa (28/10).   (Republika/Rakhmawaty La'lang)
Sejumlah pelajar melakukan kunjungan ke Museum Sumpah Pemuda di Jakarta Pusat, Selasa (28/10). (Republika/Rakhmawaty La'lang)

Oleh: Imran Hasibuan, Jurnalis Senior

Di bangsal rumah di Jalan Kramat No. 106, Jakarta (sekarang dikenal sebagai Museum Sumpah Pemuda), ikrar Soempah Pemoeda yang monumental itu didengungkan. Rumah besar milik seorang Tionghoa itu dikenal di lingkungan mahasiswa dan pegiat politik sebagai Indonesisch Clubgebouw [gebouw artinya: balai, panti, wisma, atau gedung].

Penghuni rumah itu tak lain sejumlah mahasiswa pelbagai perguruan tinggi, terutama yang studi di Rechthoogeschool (berdiri sejak 1924). Mereka menempati kamar-kamar di paviliun yang terletak di belakang. Ke sanalah, di awal 1928, Amir Sjarifuddin Harahap, sebagai mahasiswa baru Rechthoogeschool, datang untuk menempati salah satu kamar.

Amir, yang memang pintar bergaul, lekas akrab dengan para penghuni senior, terutama dengan Muhammad Yamin—mahasiswa senior di kampusnya. Selain Yamin dan Amir, sejumlah mahasiswa Rechthoogeschool dan STOVIA asal Sumatera (terutama dari Minangkabau dan Batak) juga kos di rumah itu. Antara lain: Abu Hanifah, Muhammad Assaat, Mangaradja Pintor, dan lain-lain.

Suasana rumah kos itu memang nyaman. Untuk para penghuni tersedia fasilitas relaksasi di bangunan induk yang terletak di depan. Di sana mereka bisa bermain biliar, pimpong, catur, dan bridge. Rumah kos Kramat 106 itu kerap ramai, sebab orang luar pun rajin menyambanginya. Keperluan mereka sehingga datang biasanya untuk bertukar atau beradu pikiran. Para aktivis yang sudah sarjana termasuk yang hadir, termasuk Soekarno, Sartono, dan Soenario (tiga tokoh yang ikut mendirikan PNI di tahun 1927).

Kendati masih orang baru Amir lekas menjadi penghuni yang diperhitungkan di Kramat 106. Sebabnya? Ia giat berorganisasi dan rajin, selain memiliki sejumlah kelebihan yang sudah disebut tadi. Dia bergabung dengan Perhimpunan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI) di tahun 1928. Berdiri resmi tahun 1926, organisasi ini beranggotakan mahasiswa Batavia dan Bandung. Dia kemudian dipercaya memimpin majalah Indonesia Raja milik PPPI. Untuk seterusnya ia selalu dekat saja dengan dunia penerbitan; itulah salah satu faktor penting yang membuat dirinya kelak dipercaya menjadi Menteri Penerangan.

Sembari bergiat di PPPI ia mengajar di Perguruan Rakyat. Kursus petang setingkat perguruan tinggi yang dikelola para mahasiswa sekolah tinggi hukum serta alumninya yang baru pulang dari Belanda ini diadakan oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Soekarno. Di masa mengajar inilah dia mulai dekat dengan orang-orang partai bersimbol kepala banteng itu.

Amir juga bergiat di Jong Bataks Bond. Organisasi ini pecahan dari Jong Sumatranen Bond yang berdiri tahun 1917. Sanusi Pane, Amir Sjarifuddin, dan yang lain yang tak menyukai dominasi orang Minang di Jong Sumatranen Bond, menjadi pemuka organisasi yang mengada tahun 1926 tersebut. Begitupun, di Kramat 106 Amir tetap bergaul rapat dengan orang seperti Muhammad Yamin dan Abu Hanifah yang merupakan dedengkot Jong Sumatranen Bond.

Amir dan kawan-kawannya di PPPI penggagas Kongres Sumpah Pemuda ke-2. Pun pelaksananya. Ia ikut di kepanitiaannya sebagai wakil Jong Bataks Bond. Kedudukannya bendahara. Pada 28 Oktober 1928 perhelatan berlangsung di Kramat 106. Sejarah seterusnya mencatatnya sebagai sebuah momen maha penting dalam perjalanan Indonesia menuju sebuah negara-bangsa.

Sebagai tempat bersejarah, tentu saja rumah kos tersebut menjadi bertambah banyak tamunya pasca Kongres ke-2. Selain karena kebersejarahannya ada magnit yang membuat kediaman ini acap ramai sebelum acara 28 Oktober 1928 pun. Seperti apa susana kehidupan keseharian di sana di masa mereka menjadi penghuni, digambarkan dengan baik oleh Abu Hanifah Datuk Marajo Ameh, sosok yang kelak dikenal sebagai tokoh terkemuka Masjumi serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1949-1950).

Bila malam datang, Abu Hanifah mengisahkan di jurnal Prisma [1983] , Indonesisch Clubgebouw akan menjadi ajang debat. Para penghuni yang memang rajin melahap rupa-rupa kitab—mulai dari yang bermuatan politik, kebudayaan, sosial, hingga filsafat—akan saling mengeluarkan isi pikiran untuk diperbenturkan. Salah satu topik hot debatnya adalah nasib anak negeri sebagai bangsa terjajah. Agar wawasan senantiasa luas dan aktual serta diri piawai berargumentasi, mereka tentu musti membekali diri. Buku tentang revolusi dan gerakan perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa menjadi favorit mereka. Dalam hal ini karya-karya transformatif seperti buah pena Karl Marx dan Fredirich Engels menjadi menu wajib.

Tak syak lagi, dari bangsal rumah di Kramat 106 inilah Yamin, Amir, dan para penghuni lainnya memulai transformasi diri menjadi tokoh-tokoh pergerakan kebangsaan terkemuka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement