REPUBLIKA.CO.ID, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan menolak permohonan uji materi perkara No. 49/PUU-XVI/2018 yang menguji Pasal 222 Undang-Undang (UU) 7/2017 tentang Pemilihan Umum. Putusan ini mengakibatkan tertutupnya kemunculan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) alternatif pada Pilpres 2019.
Pasal yang digugat oleh pemohon adalah aturan yang menyebutkan, bahwa partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada Pemilu 2014 lalu untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres. Aturan ini dikenal dengan presidential threshold.
Dalam pertimbangannya, MK tidak menemukan alasan mendasar untuk mengubah pendirian mereka berdasarkan putusan-putusan sebelumnya.
"Amar putusan, mengadili, dalam provisi menolak permohonan provisi para pemohon. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan par pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK, Anwar Usman, saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (25/10).
Hakim konstitusi mengatakan, makamah telah berkali-kali menyatakan pendiriannya soal presidential threshold sebagaimana tertuang dalam sejumlah putusan MK sejak 2008. Putusan-putusan itu di antaranya Putusan MK No. 51-51-59/PUU-VI/2008, No. 56/PUU-VI/2008, No. 26/PUU-VII/2009, No. 4/PUU-XI/2013, No. 14/PUU-XI/2013, No. 46/PUU-XI/2013, dan putusan lainnya hingga yang terakhir Putusan MK No. 72/PUU-XV/2017.
Setelah membaca semua putusan MK yang berkenaan langsung dengan ketentuan ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) itu, hakim konstitusi berpendirian, mendasarkan syarat perolehan suara partai politik di DPR dengan persentase tertentu untuk dapat mengusulkan pasangan capres-cawapres adalah konstitusional. Selain itu, hakim konstitusi juga berpendapat tidak terdapat alasan mendasar untuk mereka mengubah pendirian mereka.
"Terhadap pernyataan tersebut, Mahkamah berpendapat tidak terdapat alasan mendasar yang menyebabkan Mahkamah harus mengubah pendiriannya," jelas dia.
Alasan mereka tidak harus mengubah pendiriannya antara lain berdasarkan Putusan MK No. 53/PUU-XV/2017 yang diucapkan pada 11 Januari 2018. Pada putusan tersebut, mahkamah menanggapi salah satu dalil pemohon yang menyebutkan, ketentuan presidential treshold yang termuat dalam Pasal 222 UU Pemilu merusak sistem presidensial.
"Partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada Pemilu 2014 lalu untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres." Pasal 222 UU Pemilu
Pemohon saat itu menyebutkan, hal tersebut mengeliminasi fungsi evaluasi penyelenggaraan pemilu. Kemudian majelis hakim menyatakan, ketentuan yang termuat dalam Pasal 222 UU Pemilu justru bersesuaian dengan gagasan penguatan sistem presidensial yang menjadi desain konstitusional UUD 1945.
Selain itu, MK juga menolak sepenuhnya permohonan uji materi pasal serupa yang diajukan oleh Effendi Gazali dkk. Pokok uraian mereka bertumpu pada argumentasi mereka akan mengalami kerugian konstitusional jika Pasal 222 UU No. 7/2017 diberlakukan karena merasa dibohongi dan suara yang diberikan dalam Pemilihan Legislatif DPR 2014 telah dimanipulasi.
Baca juga
- Ambang Batas 20 Persen Pilpres Dinilai Merusak Demokrasi
- Banyak Capres yang Mendaftar Jika MK Kabulkan Uji Materi PT
- Soal Gugatan PT, Ilham: Apapun Putusan MK KPU Siap
Respons kuasa hukum pemohon
Kuasa hukum pihak pemohon uji materi Pasal 222 UU Pemilu, Denny Indrayana, mengaku menghormati putusan MK. Kendati demikian, ia tetap berpendapat, di UUD 1945 tak ada satu pun kata yang terkait dengan syarat presidential threshold.
"Kita harus menghormati putusan MK karena kita negara hukum," ujar Denny usai mendengar putusan uji materi yang ia ajukan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (25/10).
Namun, ia memiliki beberapa catatan terkait putusan tersebut. Ia menyayangkan MK tidak memutus perkara ini sebelum pendaftaran capres cawapres beberapa waktu lalu. Menurut dia, isu yang terkait dengan uji materi ini merupakan isu yang sangat penting dan ditunggu banyak kalangan. Ia beranggapan, MK seharusnya memanfaatkan momentum tersebut agar pemilu presiden menjadi lebih menarik dan variatif.
"Kita mencatat, sebelumnya MK itu lebih aktif dan cenderung menangkap aspirasi publik menangkap keputusan-keputusan tata negara yang urgent," jelasnya.
Ia juga menyayangkan putusan tersebut dan tetap berpandangan, syarat presidential threshold itu secara esensial bertentangan dengan konstitusi. Denny beralasan, dalam UUD 1945, tidak ada satu kata pun yang terkait dengan syarat ambang batas pencalonan calon presiden dan calon wakil presiden tersebut.
"Tidak ada di negara mana pun di dunia ini yang syarat presidennya itu dikaitkan dengan pemilihan legislatif lima tahun sebelumnya. Jadi, Indonesia adalah satu-satunya dan menurut kami seharusnya ini dibatalkan," tutur dia.
Effendy Gazali, selalu salah satu pemohon gugatan, mengaku sudah menduga hasil putusan yang dibacakan MK hari ini. Ia juga merasa putusan yang dibacakan MK sesuai dengan isu belakangan ini, yakni soal kebohongan politik dan sontoloyo.
"Hasil ini sudah kami duga. Tapi, ini sesuai dengan isu minggu ini, ada isu kebohongan politik dan sontoloyo. Kurang lebih pihak kami mengatakan, jangan-jangan sebagian hakim inilah yang layak disebut melakukan kebohongan politik dan sontoloyo," ujar Effendy usai mendengar putusan dibacakan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (25/10).
Effendy mengaku siap disomasi atas pernyataan tersebut. Menurut dia, salah satu alasannya adalah hakim konstitusi tidak menjawab pertanyaannya mengenai contoh negara yang melaksanakan pemilu serentak, tapi menggunakan presidential threshold yang diambil dari pemilu legislatif lima tahun sebelumnya.
"Sebelum itu bisa dijawab, artinya hakim MK melakukan pembohongan publik. Akan dikejar terus sepanjang hidupnya melakukan pembohongan publik yang ini tidak kalah hebatnya dengan pembohongan operasi plastik," katanya.
Masyarakat sipil pemohon uji materi ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold) di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (21/6). Masyarakat sipil yang terdiri dari ahli hukum, akademisi, mantan pimpinan KPK, mantan pimpinan KPU dan pegiat pemilu tersebut meminta MK segera memproses dan memutus permohonan uji materi tentang ambang batas pencalonan presiden.