Kamis 25 Oct 2018 05:01 WIB

Dari Kebanalan Islam Sontoloyo Sampai Politikus Sontoloyo

Dari zaman dahulu hingga kini sontoloyo untuk menyebut perilaku konyol.

Sukarno disumpah sebagai presiden RIS.
Foto: gahetna.nl
Sukarno disumpah sebagai presiden RIS.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Pertarungan politik jelang Pilpres 2019 memang terasa semakin mengeras. Alhasil menjadi jamak berbagai kata yang 'tak masuk akal' alias banal (kasar) berhamburan ke ruang publik. Tercatat kini dikenal sebutan bodoh dalam soal pengelolaan ekonomi negara, kebohongan dalam kaitannya penyebaran berita, matamu dalam hal peyimpanan beras Bulog, hingga kata terbaru yang ada di masa lalu dan berasal dari dialek Jawa Timuran bangkit kembali: 'Sontoloyo', di mana kata ini dikaitkan dengan perilaku sebagian politisi masa kini yang tak keruan.

Tapi dari berbagai kata yang sebenarnya wajib dihindari para guru taman kanak-kanak tersebut, kalimat yang muncul pada saat yang paling mutakhir 'Sontoloyo' itulah yang paling menarik perhatian. Ini karena pilihan terhadap kalimat ini dikatakan oleh seseorang yang mempunyai posisi sangat penting, yakni Presiden Jokowi.  Entah sebab apa ketika menyebut soal sosok politisi 'asbun' (asal bunyi), tukang bikin perpecahan, fitnah, dan sejenis hal buruk lainnya, kata Sontoloyo dia pilih. Memang Presiden mengatakan kalimat itu untuk menjelaskan atas munculnya semua kekonyolan. Dan ini pun sebarnya tepat sebab menurut kamus besar bahasa Indonesia arti 'sontoloyo' adalah konyol, tidak beres, bodoh (dipakai sebagai kata makian).

Pada berita Selasa lalu menyebutkan begini:

REPUBLIKA.CO.ID, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sepertinya kesal atas derasnya kritik terhadap wacana menggulirkan dana kelurahan. Jokowi pun sampai menyindir para pengkritik itu dengan sebutan politikus sontoloyo.

"Itulah kepandaian para politikus, mempengaruhi masyarakat, hati-hati saya titip ini, hati-hati. Hati-hati banyak politikus yang baik-baik tapi juga banyak politikus yang sontoloyo," kata Jokowi saat membagikan sertifikat hak atas tanah di lapangan bola Ahmad Yani, Kebayoran Lama Selatan, Jakarta Selatan, Selasa (23/10).

Politikus sontoloyo, menurut Jokowi, selalu mengaitkan kebijakan pemerintah dengan politik, termasuk usulan dana kelurahan. Presiden mengatakan, dana kelurahan yang akan dikucurkan pada awal tahun depan tersebut untuk kebutuhan perbaikan infrastruktur di perkotaan.

"Inikan semuanya komitmen pemerintah untuk masyarakat untuk rakyat, bukan untuk siapa-siapa, jangan dihubung-hubungkan dengan politik, dikit-dikit dihubungkan politik, nggak rampung-rampung kita ini," kata Jokowi.

Jokowi menilai, di tahun politik ini semua hal sering kali dikaitkan dengan politik. Padahal, kata dia, kehidupan bukan hanya terkait dengan politik.

"Ada sosial, ada ekonomi, ada budaya, semuanya ada, kenapa setiap hal dihubungkan dengan politik," ujarnya.

Sehari kemudian pada Rabu (24/10) dalam sebuah acara di ICE, BSD, Tangerang, Jokowi kembali menyorot politikus sontoloyo. Jokowi menyatakan, politikus sontoloyo menggunakan berbagai cara untuk menarik simpati rakyat, tapi dengan cara yang tidak beradab dan tidak memiliki tata krama. Cara berpolitik yang memecah belah masyarakat, menyebabkan kebencian, mengadu domba dengan cara tak beradab itulah yang ia sebut dengan politik sontoloyo.

"Kalau masih pakai cara-cara lama seperti itu, masih memakai politik kebencian, politik sara, politik adu domba, politik pecah belah itu namanya politik sontoloyo," kata Jokowi di ICE, Tangerang, Rabu (24/10).

Ia menilai, tak sedikit politikus yang masih menyerang dengan cara-cara yang tak sehat, terlebih menjelang Pilpres 2019 untuk menarik simpati masyarakat. Menurut Presiden, saat ini bukan zamannya lagi berkampanye dengan politik adu domba, politik pecah belah, maupun politik kebencian.

"Sekarang zamannya politik adu program, kontestasi program, konstetasi adu gagasan adu ide, adu prestasi, adu rekam jejak," ujar Jokowi.

Tentu saja, adanya pemilihan kata sontolyo dari orang nomor satu di Indonnesia itu mengingatkan kembali pada tulisan Bung Karno 'Islam Sontoloyo' pada Majalah Panji Islam tahun 1940. Pilihan menyebut sontoloyo pun dapat dimengerti karena Bung Karno berasal dari Jawa Timur (Suroboyoan) tempat di mana dialek itu berasal. Sontoloyo memang kosa kata bukan dari Jawa 'Pusat' yang dikenal sebagai wilayah 'Mataram' yang berpusat di Solo dan Yogyakarta.

photo

Tulisan Islam Sontoloyo karya Bung Karno

Dapat ditebak, karena mengakaitkan dengan kata Islam, Bung Karno di dalam tulisan itu memang menguliti perilaku tak terpuji sebagian Muslim. Pada awal tulisan dia mengutip berita di dalam surat Kabar 'Pemandangan' edisi 8 April 1940. Menurutnya, kala itu ada pekabaran yang ganjil karena ada seorang guru agama dijebloskan ke dalam bui karena memperkosa kehormatan seorang gadis kecil.

Bung Karno menilai peristiwa itu terjadi karena ada praktik Islam yang 'Sontoloyo' di mana ada orang Islam yang konyol itu melakukan perbuatan bejatnya dengan alasan keagaman. Akibatnya, gadis itu tertarik pada sosok guru agama itu karena mengklaim diri pernah berbicara dengan Nabi Muhammad SAW melalui akibat sering kali berzikir dari Magrib sampai Subuh setiap malam Jumat. Bung Karno juga mengutip praktik konyol umat Islam lain mulai dari soal riba, hingga soal makanan halal dan haram.

Bung Karno dalam tulisan itu kemudian juga mengkritik sikap sebagian Umat Islam yang terlalu menganggap fiqh itu satu-satunya tiang keagamaan.  Menurutnya: Kita lupa, atau kita tidak mau tahu, bahwa tiang keagamaan ialah terutama sekali terletak di dalam ketundukan kita punya jiwa kepada Allah. Kita lupa bahwa fiqh itu, walaupun sudah kita saring semurni-murninya, belum mencukupi semua kehendak agama Islam.

Maka, lanjuit Bung karno, benarlah perkataan Halide Edib Hancum, bahwa Islam di zaman akhir-akhir ini 'bukan lagi pemimpin hidup, tetapi agama pakral-bambu'. Katanya, "Janganlah kita kira diri kita sudah mukmin, tetapi hendaklah kita insaf, bahwa banyak di kalangan kita yang Islamnya masih Islam Sontoloyo!"

Namun ada yang unik. Arti kata sontoloyo disitus Wikipedia diartikan dengan omongan umpatan kepada para penggembala itik. Sampai tahun 1980-an, profesi penggembala ini masih sering terlihat di berbagai area persawahan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Para penggembala itik itu kerap membuat kesal yang punya tananam padi dan sawah. Ini karena mereka kerapkali teledor karena tak menjaga ternaknya dengan seksama. Akibatnya, sering terjadi umpatan memakai kata 'Sontoloyo' itu dari pemilik persawahan yang kesal karena tanam padinya rusak. Maka kata Sontolyo menjadi kalimat makian. Ini mirip seperti kata 'bajingan' yang dahulu sebenarnya sebagai sebutan panggilan kepada sopir gerobak di Jawa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement