Kamis 25 Oct 2018 05:01 WIB

Dari Kebanalan Islam Sontoloyo Sampai Politikus Sontoloyo

Dari zaman dahulu hingga kini sontoloyo untuk menyebut perilaku konyol.

Sukarno disumpah sebagai presiden RIS.
Foto:
Kumpulan tulisan Bung Karno

Maka tentu saja, seperti makian para pemilik sawah ketika tanaman padinya diobrak-abrik oleh gerombolan ternak itik, para seteru politik Jokowi menjadi kebakaran jenggot. Untungnya, pilihan kata Sontolyo yang dinyatakan Presiden Jokowi, oleh kubu oposisi dan pendukung Capres Prabowo Subianto dengan nada santai saja.

"Mungkin beliau dalam keadaan tertekan," ujar Sodik Mudjahid, kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR dari Partai Gerindra.

Hal sama diungkapkan pihak oposisi lainnya. Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan yang menilai sebutan Jokowi terhadap politikus yang mengkritik pemerintah dengan politikus sontoloyo juga berlebihan. Sebab menurutnya, kritik-kritik yang disampaikan para politikus adalah sesuatu yang wajar.

Ia menambahkan, salah satunya terkait kritik terhadap dana kelurahan yang menjadi alasan Jokowi mengeluarkan pernyataan tersebut. "Ada suatu kebijakan anda kritisi, itu normal saja. Oleh karena itu kritik itu harus dianggap sebagai vitamin lah. Tidak perlu misalnya dianggap menjadi terus berseberangan sekali," ujar Hinca.

Dan paham bila pemakaian kata Sontolyo malah memicu persoalan baru, Presiden Jokowi  kemudian  mengatakan sempat keceplosan menyebut kata 'sontoloyo' terkait soal perilaku sebagian politisi. Ia mengaku kalimat itu diomongkan karena merasa sangat geram terhadap mereka.

"Inilah kenapa kemarin saya kelepasan, saya sampaikan politikus sontoloyo ya itu. Jengkel saya, saya itu enggak pernah pakai kata-kata seperti itu, karena sudah jengkel ya keluar. Saya itu biasanya bisa ngerem, tapi kalau udah jengkel ya gimana," kata Jokowi saat meresmikan pembukaan pertemuan pimpinan gereja dan rektor/ketua perguruan tinggi agama Kristen seluruh Indonesia di Istana Negara, Jakarta, Rabu (24/10).

Jokowi mengatakan, menjelang Pemilu 2019, tak sedikit politisi yang menyerang lawannya dengan berbagai cara, seperti dengan fitnah, adu domba, ujaran kebencian, dan memecah belah masyarakat. Padahal, kata dia, politik yang digunakan di Indonesia adalah politik yang beradab dan beretika.

"Cara-cara politik adu domba, cara-cara politik yang memfitnah, cara-cara politik yang memecah belah hanya untuk merebut sebuah kursi, sebuah kekuasaan semuanya dihalalkan. Nah, dimulai dari sini. Sehingga muncul, kalau saya sampaikan yang sedikit masalah, yang sebetulnya sudah berpuluh tahun tidak pernah ada masalah," ujarnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement