REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta Bestari Barus memberikan tantangan kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, yakni membangun tiga hingga empat pengolahan sampah Intermediate Treatment Facility (ITF) selama periode kepemimpinannya. Ketua fraksi Partai Nasdem itu mengatakan jika Anies sanggup maka hal itu akan menjadi prestasi besar.
Menurut Bestari, DKI membutuhkan lebih dari satu ITF. Ia menyebutkan tiga hingga empat ITF menjadi jumlah ideal bagi DKI. Dengan anggaran yang dimiliki oleh DKI, Bestari berujar, DKI seharusnya sanggup membangun empat fasilitas tersebut.
Namun, ia menyadari, kendalanya, yakni ketersediaan lahan. Karena itulah, ia mengatakan, pembangunan ITF menjadi tantangan bagi Anies untuk memberikan prestasi bagi DKI.
“Masalahnya adalah sanggup nggak kemudian Jakarta ini punya ITF tiga atau empat? Nah, itu baru prestasi besar buat pak gubernur,” kata Bestari kepada wartawan, Rabu (24/10).
Hingga saat ini, DKI belum memiliki pengolahan sampah ITF. Rencananya, DKI akan membangun satu fasilitas di Sunter, Jakarta Utara. Peletakan batu pertama atau groundbreaking akan dilakukan pada Desember mendatang.
Saat ini, Pemprov DKI sedang merampungkan sejumlah kajian, termasuk analisis dampak lingkungan (AMDAL), proyek tersebut. Rencananya, ITF tersebut akan berkapasitas dua ribu ton sampah per hari atau tidak sampai setengah jumlah sampah DKI setiap harinya.
Bestari mengatakan keberadaan fasilitas pengelolaan sampah ITF, yang bisa mengubah sampah menjadi listrik, sangat penting untuk mengurangi ketergantungan DKI kepada Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang di Bekasi. Dengan demikian, DKI tidak perlu dipusingkan dengan dana hibah ke DKI, baik dalam bentuk kompensasi maupun kemitraan.
“Masak, kita terus-terusan bergantung kepada Bekasi. Sampah kita 7000 ton setiap hari harus diberikan kepada Bekasi,” ujar Bestari.
Pengamat tata kota, Nirwono Joga
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Nirwono Joga mengatakan Pulau C dan D dapat menjadi lahan untuk pengelolaan sampah. Namun, ia mengajukan dua argumen mengenai usulan ini.
Pertama, ia mengatakan, harus ada Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) untuk menggunakan lahan reklamasi itu sebagai lokasi pengolahan sampah. Kedua, ia mengatakan, permasalahan pengelolaan sampah bukan hanya melalui TPST.
Ia mengatakan penyelesaian persoalan sampah harus juga menyasar masyarakat sebagai produsen sampah. Ia menerangkan penyelesaian sampah harus dilakukan tuntas mulai dari sumbernya.
Ia mengatakan produksi sampah Jakarta per hari mencapai 6.400-6.800 ton per hari. Penyumbang terbesar dari angka itu adalah sampah rumah tangga yang mencapai 3.845 ton per hari.
Karena itu, Nirwono menjelaskan masyarakat harus juga diajak berpartisipasi untuk mengurangi sampah rumah tangga. Nirwono pun menyarankan Pemprov DKI menyusun sebuah rencana induk pengelolaan sampah yang diarahkan pada pengurangan sampah rumah sampah rumah tangga.
Bank Sampah Flamboyan, Jakarta, Senin (15/10). (Republika/Iman Firmansyah)
“Rencana induk berisi penetapan target pengurangan sampah, strategi peningkatan kualitas, dan jangkauan pelayanan kebersihan, serta penyediaan sarana dan prasarana,” kata Nirwono kepada Republika, Selasa (23/10).
Ia mengatakan, rencana induk tersebut bisa membuat komposisi produksi sampah organik bisa diolah menjadi kompos secara berjenjang. “Mulai dari tingkat RT/RW, kelurahan, kecamatan, dan kota, maka sampah organik sudah habis terolah menjadi kompos untuk memenuhi kebutuhan pupuk di lingkungan pemukiman dan perkotaan,” kata Nirwono.
Nirwono berpendapat cara tersebut akan mengurangi sampah yang dibuang ke TPS atau ITF. Biaya angkut sampah pun bisa berkurang, termasuk pengadaan dan perawatan truk pengangkut dan uang kompensasi bau.
“Dana kompensasi kesehatan masyarakat dan pemulihan lingkungan dapat dimaksimalkan,” kata Nirwono.