Selasa 23 Oct 2018 07:39 WIB

Muhammadiyah Majukan Indonesia

Paham Islam progresif menjadi daya tarik Sukarno bergabung ke Muhammadiyah.

KH Haedar Nashir (Ilustrasi)
Foto:

Peran kemasyarakatan

Muhammadiyah memiliki teologi dan praksis Al-Ma’un dalam mengembangkan filantropi bersifat inklusif. Termasuk program kemasyarakatan oleh organisasi perempuan Muhammadiyah, yakni Aisyiyah.

Di Indonesia bagian timur, seperti di Papua dan Nusa Tenggara Timur, tempat umat Islam minoritas, Muhammadiyah melakukan usaha di bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dan pemberdayaan masyarakat.

Di Papua, Muhammadiyah mendirikan perguruan tinggi dan sekolah, pelayanan kesehatan, dan pelayanan sosial bagi penduduk setempat yang mayoritas Kristen dan Katolik. Guru atau dosen Kristen dan Katolik mengajar di lembaga pendidikan Muhammadiyah.

Gerakan ini, bagi Muhammadiyah wujud pluralisme Islam yang membumi, bukan retorika dan jargon di atas kertas. Program Muhammadiyah untuk kemanusiaan, seperti penanggulangan bencana dan pemberdayaan masyarakat di daerah terjauh dan terpencil diakui secara luas.

Muhammadiyah berperan dalam resolusi konflik di Filipina Selatan, Thailand Selatan, dan kawasan lain untuk rekonsiliasi dan perdamaian. Muhammadiyah juga melaksanakan program kemanusiaan untuk Rohingya di Myanmar dan Cox’s Bazar, Bangladesh.

Program kemanusiaan dilakukan pula untuk Palestina yang masih mengalami nasib buruk dan perlakuan tidak adil di Timur Tengah. Semua dilandasi spirit kemanusiaan bahwa pada era peradaban modern semua umat manusia layak hidup bersama tanpa diskriminasi dan penindasan.

Kiprah Muhammadiyah dalam kehidupan keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal melekat dengan nilai dan pandangan Islam yang berkemajuan. Pendiri Muhammadiyah sejak awal pergerakannya senantiasa berorientasi pada sikap dan gagasan berkemajuan.

Sebab, Muhammadiyah percaya, Islam merupakan agama yang mengandung nilai-nilai kemajuan. Muhammadiyah, dengan pandangan Islam sebagai agama kemajuan, senantiasa berusaha mengintegrasikan nilai keislaman dan keindonesiaan.

Sampai kapan pun, Muhammadiyah bersama Indonesia melalui usaha nyata bukan semata klaim retorika ataupun pencitraan. Karena itu, tidak perlu ada klaim dirinya paling Indonesia, paling cinta NKRI, paling Merah-Putih seraya memandang pihak lain seolah setengah Indonesia.

Keindonesiaan harus ditunjukkan bukan dengan klaim dan retorika, melainkan dengan perbuatan nyata. Bahkan, kalau Indonesia dibawa salah arah kemudian diluruskan oleh sejumlah komponen bangsa, usaha itu bagian dari cinta Indonesia.

Cinta tidak memanjakan dan membiarkan yang dicintai keropos, tetapi niscaya dikasihi sekaligus dibina dan diberdayakan. Bahkan, diingatkan saat yang dicintai itu pada jalan yang tidak semestinya. Cara meluruskannya tentu dengan rasa cinta, bukan amarah dan kebencian! 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement