Senin 22 Oct 2018 10:56 WIB

Anies Kesal Dana Kemitraan Dianggap Sama dengan Uang Sampah

Fraksi PDIP sarankan DKI-Bekasi duduk bersama, Pemprov Jabar akan bantu selesaikan.

Rep: Farah Noersativa, Afrizal Rosikhul Ilmi, Arie Lukihardianti/ Red: Ratna Puspita
Sejumlah truk sampah mengantre untuk membuang sampah di TPST Bantargebang.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah truk sampah mengantre untuk membuang sampah di TPST Bantargebang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan kesal karena dana hibah DKI ke kota penyangga, yakni Bekasi, dianggap sama dengan kompensasi sampah DKI di Bantargebang. Padahal, kedua dana tersebut merupakan hal yang berbeda. 

Anies meminta kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi untuk tak menyatukan dana hibah kemitraan yang diajukan oleh Pemkot Bekasi dan kewajiban mengenai persampahan. “Saya harap Bekasi jangan dicampurkan ini,” kata Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Ahad (21/10).

Baca Juga

Anies mengatakan, kompensasi atas pengolahan sampah DKI di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, merupakan sesuatu yang didasarkan pada perjanjian kerja sama kedua wilayah. Sementara, dana hibah kemitraan, ia menerangkan, tidak ada perjanjiannya. 

“Sekarang ini kesannya seperti menjadi satu. Padahal, enggak ada urusannya,” ujar dia. 

Anies pun mempertanyakan kepatuhan Pemkot Bekasi terhadap kerja sama pengelolaan sampah di Bantargebang setelah adanya pencegatan truk-truk sampah DKI di Bekasi. Pencegatan itu tidak selayaknya terjadi karena DKI sudah membayar kompensasi persampahan kepada Bekasi.

DKI memiliki perjanjian kerja sama persampahan dengan Pemkot Bekasi sejak 2016, yang berlaku selama lima tahun atau hingga 2021. Anies menerangkan, tahun ini Pemprov DKI membayar Rp 138 miliar dan pelunasan utang tahun lalu sebesar Rp 64 miliar kepada Bekasi. 

photo
Seorang petugas mengecek tumpukan sampah yang akan diolah dengan fasilitas mesin pengomposan di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. (Republika/Mahmud Muhyidin)

Tahun depan, Pemprov DKI memproyeksikan kompensasi sampah DKI mencapai Rp 141 miliar. “Jadi, dari aspek kewajiban-kewajiban kita sudah selesai. Tidak ada kewajiban yang tersisa,” kata Anies. 

Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Isnawa Aji mengatakan, truk-truk sampah DKI berupaya mematuhi isi perjanjian, terutama soal perlintasan. Ia menerangkan, ada tiga jalur truk sampah DKI menuju Bantargebang. Pertama, jalur Cibubur-Transyogi itu dengan operasional 1x24 jam untuk semua jenis truk sampah. 

Jalur kedua, yakni Jatiasih-Bantargebang, yang juga berlaku 1x24 jam untuk semua jenis truk sampah. Jalur ketiga, yaitu Bekasi Barat yang sempat ramai diberitakan. 

Menurut Isnawa, di jalur tersebut, terdapat dua pengaturan bagi truk sampah DKI menuju Bantargebang. Pada pukul 21.00 sampai 05.00 WIB, semua truk sampah boleh melintas. 

Pukul 05.00-21.00 WIB, hanya truk sampah tertutup atau menggunakan compactor yang boleh melintas di jalur ketiga. “Namun, kalaupun ada ancaman untuk menutup semua jalur, tentunya seperti yang Pak Gubernur sampaikan, harus mematuhi apa yang sudah menjadi kesepakatan perjanjian kerja sama antara kami dan Pemkot Bekasi,” ujar Isnawa.

photo
Sejumlah truk sampah DKI Jakarta antre memasuki Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. (Antara)

Polemik dana hibah

Pencegatan sebanyak 51 truk sampah DKI Jakarta yang keluar dari Tol Bekasi Barat oleh petugas Dinas Perhubungan Kota Bekasi beberapa waktu lalu bermula dari ketiadaan dana hibah kemitraan dari DKI ke kota penyangganya itu. Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi mengatakan, sejak Anies menjabat sebagai gubernur DKI, Bekasi tidak mendapatkan dana hibah kemitraan. 

Tahun-tahun sebelumnya, DKI selalu mengucurkan dana hibah kemitraan untuk pembangunan infrastruktur di Bekasi. Rahmat Effendi menyatakan, Bekasi layak mendapatkan dana hibah ini karena wilayah Bekasi tidak hanya menjadi lokasi penampungan sampah DKI, tetapi juga perlintasan truk yang mengangkut sampah. “DKI punya dampak yang luar biasa bagi Kota Bekasi," kata dia. 

Ia menyebutkan, dana hibah ini juga sebenarnya digunakan sebagai penunjang pengelolaan dan armada sampah milik DKI menuju ke TPST Bantargebang. Untuk menopang keberadaan TPST Bantargebang, ia menyatakan, Pemkot DKI harus membangun pengolahan limbah Bantargebang, sekolah terpadu, rumah sakit, dan polder air. 

Selain itu, sarana prasarana jalur lintas ribuan kendaraan sampah DKI di wilayah Kota Bekasi. Misalnya, ia menyebutkan, pembangunan jembatan Jatiwaringin, Jembatan Cipendawa, pelebaran Jalan Jatiasih, dan lainnya. 

Karena itu, ia mempertanyakan kerja sama kedua wilayah dengan mandeknya dana hibah dari DKI. “Kalau tidak dipenuhi, jangan lagi soal hak dan kewajiban, jangankan lagi dihentikan, ditutup juga bisa," ujar Rahmat Effendi.

photo
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi. (Republika/Farah Noersativa)

Selain itu, Rahmat Effendi membantah anggapan bahwa upaya Pemkot Bekasi menagih dana hibah dari Pemprov DKI sebagai langkah untuk menutupi kebutuhan keuangan Kota Bekasi. "Ini nggak ada hubungannya, urusan kita dengan pemerintah DKI kan persoalan sampah, jangan diikutkan persoalan itu," kata Pepen.

Kepala Bidang Pendanaan dan Evaluasi pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Kota Bekasi, Marlina, mengatakan, pada April 2017, Pemkot Bekasi mengajukan dana hibah kemitraan senilai Rp 1,1 triliun, sedangkan kompensasi Rp 267 miliar. Namun, dari dana yang diajukan itu, tahun ini hanya cair Rp 196 miliar untuk kompensasi sampah. 

“Dana kemitraannya nggak cair karena nggak ada uangnya," ujar Marlina di Bekasi,  Jumat (19/10).

Selain itu, ia mengatakan, Pemkot Bekasi kembali mengajukan dana hibah, baik yang berupa kompensasi maupun kemitraan pada Mei 2018. “Kompensasi Rp 426 miliar, kemitraan Rp 582 miliar,” kata Marlina.

Ia mengatakan, dana kemitraan yang diajukan kepada Pemprov DKI akan digunakan untuk pembangunan prasarana. "Melanjutkan pembangunan flyover Rawa Panjang dan Cipendawa, juga membangun crossing Buaran dan peningkatan fasilitas penerangan jalan umum (PJU) di Kota Bekasi," ujar Marlina.

Baca Juga: Anak Bekasi Bakal Punya Alternatif Tempat Nongkrong Baru

Persoalan tanggung jawab dana

photo
Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan memberikan keterangan perihal dana bantuan kepada Pemerintah Kota Bekasi di Balai Kota DKI Jakarta, Ahad (21/10). (Republika/Farah Noersativa)

Anies mengatakan, DKI bukan tidak mau mengucurkan dana hibah yang diajukan oleh Pemkot Bekasi. Sebaliknya, Anies mengatakan, Pemprov DKI tak masalah kalau harus memproses pengajuan tersebut.

Namun, ada dua hal yang dipersoalkan oleh Anies, yakni detail pengajuan untuk 2018 dan pertanggungjawaban dana hibah 2017. Soal detail pengajuan, Anies menerangkan, pada Mei 2018, Pemprov DKI dan Pemkot Bekasi mengadakan pertemuan. 

Dalam pertemuan itu, Pemkot Bekasi menjelaskan perincian permintaan bantuan beberapa proyek dengan total nilai Rp 2 triliun. Anies menyebutkan, proyek-proyek tersebut, di antaranya flyover Rawa Panjang Rp 188 miliar, proyek flyover Cipendawa Rp 372 miliar, pembangunan crossing Buaran Rp 16 miliar, dan peningkatan fasilitas penerangan jalan umum Kota Bekasi Rp 5 miliar. 

“Ini di luar perjanjian sampah, minta anggaran seperti itu,” kata Anies. 

Lalu, Pemprov DKI Jakarta pun meminta perincian dari masing-masing proyek tersebut. Namun, perincian itu tak kunjung datang sejak dibicarakan pada Mei silam dan baru diterima oleh DKI pada 18 Oktober lalu. 

Alasan kedua, ia juga mengingatkan kewajiban Pemkot Bekasi selaku penerima dana, yakni pertanggungjawaban. Anies menerangkan, Pemprov DKI bertanggung jawab atas anggaran yang dikeluarkan untuk berbagai tujuan. Termasuk, uang DKI yang digunakan untuk hibah atau kemitraan dengan wilayah lain.

photo
Pekerja beraktivitas di area pembangunan jalan jembatan layang (flyover) Cipendawa, di Jalan Raya Narogong, Bekasi, Jawa Barat. (Antara)

Anies menerangkan, usulan Bekasi untuk dana hibah Rp 2 triliun pada tahun ini untuk anggaran tahun depan harus diajukan guna disetujui oleh DPRD DKI. Setelah uang digunakan, ia mengatakan, penggunaan dana itu harus kembali dipertanggungjawabkan kepada DPRD DKI. 

Karena itu, Anies meminta Pemkot Bekasi untuk berhenti berpolemik. “Saya menganjurkan untuk lebih baik komunikasi langsung daripada berpolemik. Rencananya menyelesaikan masalah atau meramaikan masalah,” kata Anies. 

Dengan Bekasi yang memunculkan masalah ini di media massa sehingga memojokan DKI, Anies pun mempertanyakan, Bekasi yang kerap mengajukan permintaan dana ke DKI. Anies mengatakan, Pemkot Bekasi tak seharusnya selalu meminta dana dari Pemprov DKI Jakarta karena wilayah itu masuk Provinsi Jawa Barat. 

“Harus diingat Kota Bekasi itu masuk provinsi mana coba? Iya, Jawa Barat. Kalau mau minta ke pemprov mana harusnya dimintai? Kok mintanya ke Jakarta?” ujar dia.

Selain itu, Pemprov DKI pun sudah menyiapkan rencana pengolahan sampah jika terus Bekasi mengancam akan menghentikan kerja sama persampahan karena masalah dana hibah. Anies mengatakan, Pemprov DKI sedang merampungkan pembangkit listrik tenaga sampah atau intermediate treatment facility (ITF) fase pertama. 

Pada fase pertama, menurutnya, ITF akan bisa menampung sampah Jakarta sekitar 7.000 sampai 8.000 ton per hari. Namun, ia menyatakan, hal itu juga bergantung dengan musim dan hal lain-lain. “Kami di tempat yang pertama yang di Sunter, insya Allah bisa mengolah 2.000 ton,” kata Anies. 

Komunikasi yang mampat

photo
Warga berjalan di permukiman dekat TPST Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. (Republika)

Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono mengatakan, terdapat komunikasi yang terhenti atau mampat antara Pemprov DKI dan Pemkot Bekasi mengenai masalah ini. “Artinya, ini bukan masalah jumlah. Soal komunikasi aja,” kata Gembong kepada Republika.co.id, Ahad (21/10).

Ia mengatakan, dalam konteks hubungan antarpemerintah daerah, persoalannya bukan hanya terkait uang. “Soal komunikasi juga. Komunikasi itu yang penting,” kata Gembong. 

Gembong berpendapat, penghentian truk sampah DKI sebagai bentuk protes Pemkot Bekasi menunjukkan kesalahpahaman dalam berkomunikasi dan koordinasi antareksekutif. Dia mengakui, lebih sulit menerapkan koordinasi daripada komunikasi.

Karena itu, dia menyarankan kepada kedua pemerintah daerah untuk duduk bersama melakukan rapat koordinasi. Dengan demikian, ia menyatakan, tak ada yang salah dalam pemahaman satu sama lain.

“Ini kan antarpemerintah daerah kan, harusnya sering rapat koordinasi, dan komunikasi. Sebetulnya dengan itu saja bisa cair. Sebenarnya, tidak ada yang sulit ketika kita bisa membangun komunikasi dan koordinasi,” kata Gembong. 

photo
Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum. (Antara)

Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum sepakat bahwa ada persoalan komunikasi antara DKI dan Bekasi. Karena itu, ia mengatakan, Pemprov Jabar akan menjembatani DKI dan Bekasi untuk menyelesaikan persoalan ini. 

"Secepatnya kami (Pemprov Jabar bersama Pemkot Bekasi) akan berkomunikasi dengan Pemprov DKI Jakarta untuk menangani masalah ini," ujar Uu di Gedung Sate, Senin (22/10).

Uu menerangkan, kedua pemerintah daerah hanya saling perang di media massa dan belum berbicara secara langsung. Dalam komentar-komentar di media massa, Pemprov DKI mengatakan A dan Pemkot Bekasi bersikukuh bicara soal B. “Tidak nyambung, kami akan tengahi,” kata dia. 

Uu meyakini, permasalahan antara DKI dan Bekasi akan selesai jika kedua pihak duduk bersama. "Jika ada sedikit salah penafsiran, atau lambatnya membuat keputusan, diminta tidak diminta, kami akan masuk wilayah tersebut karena Bekasi ada di wilayah Jabar," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement