REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persoalan kampanye negatif kembali mencuat pasca Presiden PKS mempersilakan para kadernya untuk menggunakan pola kampanye negatif. Partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja (KIK) pun merespons sikap PKS yang merupakan anggota dari Koalisi Indonesia Adil Makmur (KIAM). Saiful Mujani Research & Consultant (SMRC) menilai, masing-masing pasangan calon dari kedua koalisi memiliki kekurangan yang bisa dijadikan bahan kampanye negatif.
Direktur Eksekutif SMRC Djayahadi Hanan mengatakan, kampanye negatif tidak bisa dihindari oleh masing-masing peserta kampanye. Sebab, pada dasarnya, kampanye negatif digunakan untuk mengangkat kelemahan lawan berdasarkan fakta-fakta empiris.
Djayadi mengatakan, sejatinya diantara kedua kubu yakni Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sama-sama punya sisi kelemahan yang dapat diserang. Kampanye negatif tidak salah dilakukan oleh masing-masing kubu agar publik bisa mengetahui dengan jelas kualitas para kandidat.
Di kubu pejawat, Jokowi-Ma’ruf, kelemahan yang sudah pasti sangat mudah diangkat oleh penantang yakni soal kinerja pemerintah dalam perekonomian. Djayadi mengatakan, hal itu memang kenyataan dan boleh digunakan opisisi sebagai materi dalam berkampanye.
"Oposisi juga sudah menyatakan demikian. Itu boleh saja, tidak apa-apa," kata Djayadi kepada Republika.co.id, Senin (15/10).
Sementara itu, di kubu opsisi, Prabowo-Sandiaga, Djayadi mengatakan isu yang tengah mudah diangkat adalah soal Ratna Sarumpaet. Prabowo yang kepalang mengamini kebohongan Ratna Sarumpaet menjadi sasaran empuk bagi KIK. Dan, nyatanya, tim Jokowi-Ma’ruf memang secara nyata sudah melakukan kampanye negatif. Isu Ratna, kata Djayadi, telah digunakan oleh kubu pejawat untuk menunjukkan bahwa Prabowo adalah sosok pemimpin yang lemah.
"Pihak pejawat secara tidak langsung sudah memakai isu itu untuk memotret bahwa Prabowo adalah orang yang mudah tertipu. Itu memang fakta dan boleh,” tuturnya.
Selain kasus Ratna, kelemahan utama dari Prabowo-Sandiaga yakni belum pernah menjabat sebagai pemimpin negara. Dengan kata lain, pasangan penantang belum terbukti mampu memimpin Indonesia dan isu tersebut tidak mudah untuk diatasi oleh KIAM. Pejawat, kata Djayadi, akan dengan mudah menyatakan bahwa yang dinarasikan oleh pihak oposisi baru sekadar janji.
"Orang yang cuma bisa janji itu akan sulit," ucapnya.
Djayadi mengatakan, kampanye negatif sejatinya dibutuhkan publik. Sebab, kampanye negatif diperlukan untuk mengetahui secara kontras perbedaan dan kekurangan antar kandidat capres-cawapres. Publik pun akan bosan jika masing-masing koalisi dan tim kampanye hanya menyuguhkan kampanye positif.
"Kampanye negatif boleh saja malah bagus untuk dijalankan," katanya.