REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Khusus Presiden Ahmad Erani Yustika memberi tanggapan atas pernyataan Calon Presiden (Capres) Prabowo Subianto yang menyebutkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla sedang menjalani praktik ekonomi kebodohan. Menurut Erani, ungkapan Prabowo merupakan hal usang dan data yang disampaikannya tidak valid.
Salah satu pernyataan Prabowo yang dibedah Erani adalah terkait kekayaan Indonesia yang hilang atau dinikmati oleh pihak asing mencapai 300 miliar dolar Amerika Serikat sejak 1997 sampai 2014. Jadinya, Indonesia hanya memiliki sedikit cadangan kekayaan nasional.
Erani menilai, pernyataan Prabowo tak sepenuhnya meleset. Periode tersebut memang memunculkan banyak persoalan terkait ketimpangan dan kemandirian ekonomi warisan masa sebelumnya. Bahkan pada 2013 dan 2014 merupakan puncak ketimpangan pendapatan.
"Saya kira Pak Prabowo bisa mendapatkan konfirmasi perkara ini secara otentik dari Presiden masa itu," ujar Erani dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Jumat (12/10).
Erani menambahkan, Presiden Jokowi justru melakukan koreksi terhadap keadaan tersebut sejak awal 2015 dan hasilnya sebagian bisa dinikmati hari ini. Saat ini, 51 persen saham Freeport telah dikuasai pemerintah dan Blok Rokan sebagai penghasil minyak terbesar 100 persen telah dikelola oleh Pertamina.
Erani juga membantah bahwa pihak asing menguasai Indonesia. Data laporan Investasi Dunia UNCTAD, persentase rata-rata penanaman modal asing langsung di Indonesia terhadap total PMTB pada kurun 2005-2010 dan 2011-2016 tidak pernah lebih dari enam persen. Kisarannya hanya di antara 5,6 persen hingga 5,7 persen.
Kondisi tersebut lebih baik dibanding dengann negara lain seperti Vietnam yang hampir empat kali lipat dibandingkan Indonesia. Vietnam memiliki persentase sebesar 20,4 persen pada 2005-2010 dan 23,2 persen pada 2011-2016. Malaysia persentasenya mencapai 13,6 persen dan 14 persen.
Indikator kedua yang dibedah Erani adalah terkait fenomena kekurangan gizi. Prabowo mengutip data Bank Dunia, yakni satu dari tiga anak Indonesia berusia di bawah lima tahun mengalami stunting atau pertumbuhan yang tidak sempurna.
Pemerintah mulai 2015 telah berupaya menyelesaikan masalah stunting dengan mengambil beberapa langkah strategis. Pertama, meningkatkan anggaran kesehatan menjadi lima persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), sesuai dengan mandat UU 36/2009 tentang Kesehatan.
"Pada periode sebelumnya, anggaran kesehatan hanya berkisar antara 2,5-3,5 persen saja," ucap Erani.
Kedua, program pencegahan stunting didesain melalui intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Hasilnya, prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak bawah dua tahun (Baduta) menurun dari 32,9 persen (2014) menjadi 28,8 persen (2018).
Selain itu, dalam penanganan gizi buruk, pemerintah melaksanakan program perbaikan gizi ibu hamil Kurang Energi Kronis (KEK) dengan pemberian makanan tambahan (PMT). Hasilnya, secara nasional, cakupan ibu hamil KEK mendapat PMT tahun 2017 adalah 82,83 persen (sudah memenuhi target Renstra tahun 2017, yaitu 65 persen).
Kemudian, ada program pemerintah mendorong agar bayi baru lahir dapat menyusu dini, mendapat ASI eksklusif dan vitamin A. Hasilnya, secara nasional persentase bayi baru lahir yang mendapat inisiasi menyusu dini (IMD) sebesar 73,06 persen (melampaui target Renstra 2017, yaitu 44 persen).
Hasil lainnya, Erani menambahkan, cakupan bayi mendapat ASI eksklusif sebesar 61,33 persen (melampaui target Renstra 2017, yaitu 44 persen) dan cakupan pemberian vitamin A pada balita 6-59 bulan di Indonesia berdasarkan Pemantauan Status Gizi 2017 adalah 94,73 persen. "Masalah stunting dan gizi buruk memang belum tuntas, tetapi pemerintah terus bekerja keras melalui berbagai program dan komitmen anggaran," tuturnya.
Sebelumnya, Prabowo menyampaikan kritik terhadap calon presiden petahanan Jokowi terkait isu ekonomi. Kritik disampaikan Prabowo saat berpidato dalam Rapat Kerja Nasional Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Pondok Pesantren Minhajurrosyidin di Pondok Gede, Jakarta, Kamis (11/10).
Prabowo menyebutkan sistem ekonomi di Indonesia saat ini tidak berjalan dengan benar dan sudah lebih parah dari paham neoliberalisme yang dijalankan Amerika. Bahkan, ia menyebutkan Indonesia kini sedang mempraktikkan sistem ekonomi kebodohan.