REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Tim Komando Tugas Gabungan Terpadu (Kogasgabpad) terus berusaha mengevakuasi korban tertimbun di wilayah Sulawesi Tengah (Sulteng). Hari ini, tim tersebut berhasil mengevakuasi 28 korban tertimbun. Jumlah tersebut menambah jumlah korban meninggal dunia yang dievakuasi Kogasgabpad menjadi 2.065 korban jiwa.
"Hasil evakuasi yang dilaksanakan Kogasgabpad hari ini dapat mengevakuasi korban tertimbun sebanyak 28 korban. Sehingga jumlah korban meninggal yang sudah dievakuasi Kogasgabpad sudah mencapai 2.065 korban," tutur Kepala Bagian Humas Pemerintah Provinsi Sulteng, Adiman, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (10/10).
Setelah dievakuasi, korban tertimbun langsung dikuburkan. Adiman menjelaskan, berdasarkan data sementara, hingga malam ini, tercatat ada 4.612 korban luka-luka, 680 korban hilang sesuai laporan keluarga, 152 korban tertimbun, dan 67.310 rumah yang rusak terdampak bencana.
"Jumlah masyarakat mengungsi 78.994. Sesuai hasil rapat Satgasgabpad malam ini, perlu perbaikan data pengungsi. Olehnya, perlu kita pahami tentang defenisi pengungsi," ungkap Adiman.
Pemahaman mengenai definisi pengungsi menjadi penting karena nantinya data pengungsi akan menjadi bahan kebijakan selanjutnya setelah tanggap darurat. Data tersebut berguna dalam pembangunan hunian sementara, hunian tetap, dan kebutuhan para pengungsi ke depannya.
Sesuai hasil rapat gabungan, kata Adikan, masa evakuasi yang dilakukan oleh satgas akan berakhir besok, Kamis (11/10). Setelahnya, Gubernur Sulteng bersama dengan Panglima Kogasgabpad akan melakukan rapat lengkap di kantor Gubernur untuk mengevaluasi tanggap darurat yang sudah dilaksanakan dan hal-hal strategis ke depan.
Sebelumnya, evakuasi korban gempa bumi dan tsunami di Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah akan dihentikan Kamis (11/10) pekan ini. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, pengehentian evakuasi tersebut berdasarkan rapat dengan pemerintah daerah setempat beserta para tokoh masyarakat.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, dilihat dari korban meninggal dunia yang dievakuasi, rata-rata kondisi jasad sudah melepuh dan tidak bisa dikenali. Di satu sisi, jasad korban yang sudah cukup lama tertimbun turut berisiko menimbulkan penyakit.
Mayoritas korban meninggal terdapat di wilayah Petobo, Balaroa, dan Jono Oge. Ketiga wilayah tersebut merupakan kawasan dimana terjadi likuifaksi sehingga rumah-rumah ambles ke dalam lumpur.
“Penghentian evakuasi secara resmi dilakukan pada 11 Oktober 2018 di seluruh area. Namun, jika masyarakat masih ingin tetap mencari anggota keluarga dipersilakan, tentu akan banyak relawan yang akan membantu,” kata Sutopo dalam Konferensi Pers di Kantor Pusat BNPB, Jakarta Timur, Selasa (9/10).