Rabu 10 Oct 2018 09:37 WIB

Akses Dibatasi di Lokasi Gempa, Ini Sikap LSM Asing

LSM asing yang ingin menyalurkan bantuan wajib menggandeng mitra lokal.

Rep: Marniati/Dedy/ Red: Teguh Firmansyah
Wrga korban tsunami asal Kampung Lere memilih pakaian bekas sumbangan relawan di posko penampungan pengungsi halaman Masjid Agung Darussalam Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (9/10).
Foto: Antara/Basri Marzuki
Wrga korban tsunami asal Kampung Lere memilih pakaian bekas sumbangan relawan di posko penampungan pengungsi halaman Masjid Agung Darussalam Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (9/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah Pemerintah Indonesia membatasi akses bagi para relawan asing menuai keprihatinan. Sejumlah LSM luar khawatir langkah pembatasan itu akan membuat penyaluran bantuan menjadi terhambat. 

Tim Costello, ketua advokasi untuk badan amal World Vision menyesalkan keputusan Pemerintah Indonesia. Menurutnya peraturan ini menandakan bahwa staf dan sukarelawan Indonesia yang sudah bekerja ekstra keras dan mengalami trauma tidak dapat didukung serta dibantu oleh pekerja asing yang masih segar. 

"Wartawan asing bebas untuk berkeliling dan menyampaikan laporannya, tetapi pekerja kemanusiaan  asing yang membawa  pengalaman dan bantuan kepada staf kami yang menangani tsunami tidak diizinkan. Mereka mengalami demoralisasi, jadi ini sangat aneh," katanya kepada ABC.

Seperti dikutip the Guardian, Selasa (9/10), Pemerintah  Indonesia dikritik karena dinilai lambat dalam proses penanganan korban gempa dan tsunami di wilayah yang terkena dampak bencana.

Negara-negara  termasuk Australia, Selandia Baru dan Inggris menjanjikan bantuan untuk Indonesia.  Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia ditujukan kepada LSM internasional. Organisasi besar seperti World Vision, yang terdaftar sebagai LSM lokal di Indonesia, diizinkan untuk tetap tinggal.

Baca juga, Bantuan Asing ke Palu Mencapai Rp 220 Miliar

Jen Clancy dari Dewan Australia untuk Pembangunan Internasional (Acfid), badan tertinggi Australia untuk LSM bantuan mengatakan, hanya sejumlah kecil staf internasional yang diizinkan di lapangan untuk memberikan bantuan teknis.

Anggota Acfid  di Indonesia mengatakan kepada Clancy, pembatasan jumlah pekerja bantuan asing tidak menghambat kerja tim. Namun mereka  khawatir staf lokal akan mengalami kelelahan hebat.

Seorang pekerja LSM internasional senior yang saat ini di Indonesia mengatakan kepada the Guardian bahwa keputusan pemerintah Indonesia adalah hal normal.

“Di Australia kami tidak memiliki LSM Indonesia di sana, jadi mengapa mereka memiliki [LSM Australia]? Ada isu keamanan, masalah pajak, tidak masuk akal bagi negara dengan uang yang cukup untuk punya LSM internasional daripada lembaga dalam negeri mereka itu sendiri,” kata pekerja itu.

Ia mengatakan, adapun beberapa peran yang membutuhkan keterampilan teknis khusus,  biasanya dapat dilakukan dari kantor pusat dan hanya berlangsung selama beberapa pekan. Sedangkan untuk pekerjaan secara keseluruhan dapat menggunakan tim dari Indonesia.

Clancy mengatakan, LSM internasional harus bekerja dengan hati-hati dan tidak bertindak secara paternalistik dan mengambil alih operasi bantuan. "Ada tekanan balik terhadap komunitas internasional yang datang membanjiri dalam beberapa hari atau beberpa pekan kemudian untuk mengambil alih peran ini," katanya.

Ia mengatakan, pemerintah Indonesia, Palang Merah Indonesia dan LSM Indonesia  memiliki kapasitas signifikan untuk memberikan bantuan kemanusiaan. "Bencana alam bukanlah fenomena baru bagi Indonesia,  mereka berpengalaman dalam menanggapi bencana alam.” katanya

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menegaskan,  organisasi nonpemerintah (NGO) dari luar negeri untuk tidak terjun langsung ke lokasi bencana. Organisasi asing yang ingin membantu penanganan dampak bencana gempa bumi dan tsunami di Donggala dan Palu wajib menggunakan mitra lokal.

“Ormas asing atau NGO Internasional tidak diizinkan terjun langsung ke wilayah terdampak gempa,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam Konferensi Pers di Jakarta, Sabtu (6/10).

Sutopo menjelaskan, bagi pihak NGO Internasional yang terlanjur menerjunkan warga negara asing ke wilayah terdampak gempa, diimbau untuk segera menarik anggotanya. Sedangkan bagi organisasi yang sudah terlanjur membeli atau menyiapkan bahan dan meterial bantuan untuk Indonesia, maka harus didaftarkan menjadi mitra kementerian dan lembaga di Indonesia.

Segala bentuk bantuan selain WNA, wajib mendaftar sebagai mitra lembaga di Indonesia. “Ormas asing yang belum terdaftar dalam kementerian lembaga wajib segera mendaftar ke BNPB untuk pendistribusian di lapangan,” kata dia.

photo
Relawan melintas di sekitar Masjid Daarul Mutakin yang terletak di perumnas Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (8/10).

Adapun bagi ormas asing yang sudah terdaftar menjadi mitra dapat mengirim bantuan melalui Palang Merah Indonesia (PMI) dengan pendampingan kementerian lembaga yang menjadi mitra organisasi tersebut. Pengawasan, kata Sutopo, perlu dilakukan agar pelaksanaan pengiriman bantuan ke Indonesia dapat dilakukan secara tertib.

“Sementara ini seluruh bantuan asing yang masuk melalui kota Makassar dan Balikpapan yang dikoordinasikan oleh BNPB,” lanjut Sutopo.

Sebagaimana diketahui, pemerintah memutuskan untuk membuka pintu bagi pihak asing yang ingin memberikan bantuan. Namun, bantuan yang bisa diberikan terbatas sesuai kebutuhan Indonesia. Selain itu, bantuan bersifat antar pemerintah atau G to G sehingga bantuan yang diberi mengatasnamakan negara.

Hingga penanganan bencana hari ke delapan, bantuan asing yang masuk berupa finansial, pesawat, serta perlengkapan di pengungsian. Khusus bantuan finansial, Kementerian Luar Negeri mencatat total komitmen yang akan diberikan kepada Indonesia mencapai Rp 220 miliar. Sekitar 50 persen dari bantuan tersebut sudah diterima BNPB dan langsung disalurkan untuk penanganan korban bencana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement