Senin 08 Oct 2018 21:13 WIB

BMKG Desak Pemerintah Punya Satelit Khusus Pantau Bencana

Indonesia berada di wilayah rawan bencana alam.

Red: Nur Aini
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati
Foto: RepublikaTV/Fakhtar Khairon Lubis
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwi Korita Karnawati mendesak agar Indonesia dapat segera memiliki satelit khusus untuk memantau bencana. Hal itu karena kebutuhan teknologi tersebutsudah cukup mendesak.

Menurut Korita, posisi Indonesia yang berada di wilayah rawan bencana alam membuat pemanfaatan teknologi satelit merupakan hal penting dalam rangka penanggulangan bencana.

"Harusnya bisa dipercepat karena bencananya tidak mau menunggu. Sudah saatnya (punya satelit bencana). Karena kita dengan kondisi bencana yang sangat beragam dan jutaan manusia yang tinggal (di daerah rawan bencana), perlu ada teknologi yang bisa mengamankan," kata Korita di Jakarta, Senin (8/10).

Menurut dia, memiliki satelit bencana sangat penting agar data lebih mudah didapatkan dan dapat memprediksi terjadinya bencana. Sehingga jumlah korban bisa ditekan seminimal mungkin.

Ia mengakui pihaknya sudah memasang sensor pendeteksi gempa di sejumlah provinsi rawan gempa, namun peralatan ini tidak cukup memberikan data yang lengkap. Hal itu karena sensor tersebut bisa dalam keadaan rusak atau terjadi kegagalan dalam mengirimkan data ke pusat. Oleh karena itu, adanya satelit bencana penting untuk dapat dijadikan sebagai penyedia data tambahan selain data dari sensor tersebut.

"Seperti kasus di Palu, sensornya menyala, tidak rusak, tapi gagal kirim informasi. Kalau di-back up dengan satelit khusus, kan terdeteksi gelombangnya sampai mana," katanya.

Selain kebutuhan yang mendesak untuk memiliki satelit pendeteksi bencana, menurut dia, hal lain yang perlu dilakukan adalah perbaikan pengelolaan tata ruang di kawasan rawan bencana. "Di daerah yang rawan bencana, pemerintah harus menyiapkan shelter. Lalu pelan-pelan masyarakat dipindahkan, jangan tinggal di lokasi tersebut," katanya.

Indonesia merupakan negara yang rawan bencana gempa, gunung meletus, dan tsunami. Gempa besar berkekuatan 6,4 SR terjadi pada Ahad, 29 Juli 2018 di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Selang sepekan, gempa 7 SR kembali mengguncang NTB, terutama di Lombok Timur dan Lombok Utara. Pada 19 Agustus, gempa 6,9 SR juga tercatat mengguncang kawasan ini.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, hingga 21 Agustus 2018, telah terjadi 1.005 kali gempa susulan pasca gempa bumi berkekuatan 7 SR yang mengguncang Pulau Lombok pada 5 Agustus silam. Dampak akibat gempa di Lombok, sebanyak 515 orang meninggal dunia, 7.145 orang luka-luka dan 73.843 rumah rusak.

Terbaru, gempa berkekuatan 7,4 SR mengguncang Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah pada 28 September. Menurut BMKG, total ada 495 gempa susulan yang terjadi sejak gempa besar 28 September hingga Senin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement