Senin 08 Oct 2018 18:05 WIB

''Bantu Kami Mengembalikan Semangat''

Sebanyak 4.500 warga Layana Indah mengungsi pascagempa.

Rep: Mas Alamil Huda/ Red: Gita Amanda
Warga korban gempa tsunami Palu berjalan usai melaksanakan ibadah shalat Jumat di Masjid Baitussalam di Desa Loli Saluran, Donggala, Sulawesi Tengah, Jumat (5/10).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah warga menyelamatkan barang berharga pasca bencana alam gempa bumi dan tsunami di Pelabuhan Wani, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (4/10).

Sepekan sebelum gempa dahsyat berkekuatan 7,4 SR mengguncang Kota Palu, pada Sabtu (22/9) penulis sempat bertemu Agus di kediamannya tepatnya di RT13 RW05 Kelurahan Layana Indah. Alam Palu memang panas. Tapi ketenangan lingkungan dan keramahan orang-orang Palu, khususnya di Layana Indah, amat mengesankan. Mereka ramah dan selalu tersenyum dengan orang yang meski baru dikenalnya.

 

Sabtu (22/9) pagi itu, Palu sudah diguncang gempa 5,1 SR dan disusul pada malam dengan skala tak lebih besar daripada pagi harinya. Besaran magnitudo itu membuat orang panik, termasuk Agus. Tapi 5,1 SR cukup membuat gusar. Agus yang saat itu sedang menggarap ladangnya ketika ditemui, mengaku cukup kaget karena guncangan yang menghentak.

 

Sepekan setelah kekagetan itu, Jumat (28/9) sore, Palu benar-benar diuji. Gempa dan tsunami terjadi dan terasa hanya sekejap mata. Tanah bergoncang dan merusak hampir semua yang berdiri di atasnya. Bangunan beserta isinya di radius tertentu dari pantai tersapu kencangnya gelombang laut yang tetiba membesar. Kota ini luluh lantak. “Sekarang Palu seperti kota hantu,” kata Agus.

 

Layana Indah berada di bagian timur Kota Palu. Sebagian wilayahnya berada di bibir pantai, di Teluk Palu. RT01 dan RT02 yang masuk dalam wilayah administrasi RW01 bersih disapu tsunami. Bangunannya dihancurkan gempa, kemudian diratakan gelombang tinggi. Sementara di RT03, sebagian hancur akibat gempa. “Data di saya, sementara ini 50 warga meninggal,” ujar Agus.

 

Yang luka, Agus tak menyebutkan jumlah persisnya. “Banyak, dan diobati seadanya melibatkan warga yang pernah kuliah di kebidanan. Warga yang luka dijahit tanpa bius. Luka-lukanya cuma dicuci dengan alkohol,” ujar dia.

 

Sekarang semua warga RW01 mengungsi di RW15 dan dikoordinasi Agus. Mereka berkumpul di lapangan bola depan kantor kelurahan bersama ribuan warga lainnya dalam duka yang menggelayuti. Air mata, kata Agus, terus mengalir setiap hari dari mereka yang kehilangan sanak saudara. Duka begitu terasa. Agus bersyukur keluarganya selamat, tapi juga merasa tersayat. “Mereka kan juga saudara kita semua, Mas,” kata dia.

 

Muhammad Najib merasa selamat dari maut. Saat tsunami datang, dia berada di Jalan Lasoso, Kelurahan Kabonena, Palu Barat. Dia sedang berkegiatan dengan rekan-rekannya. Lokasi tempatnya berkegiatan berada di balik bangunan yang berada di seberang jalan yang berbatasan langsung dengan Teluk Palu. “Air tak sampai ke kami, air pecah di depan kena gedung-gedung tinggi,” ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement