Senin 08 Oct 2018 17:41 WIB

Pendidikan Mitigasi Bencana yang Belum Masuk Kurikulum

Indonesia bisa mencontoh pendidikan mitigasi bencana di Jepang.

Rep: Novita Intan/Dadang Kurnia/ Red: Muhammad Hafil
Warga korban gempa berebut pembagian logistik yang diangkut menggunakan helikopter di Kecamatan Sirenja, Palu, Sulawesi Tengah, Ahad (7/10).
Foto: Antara/Abriawan Abhe
Warga korban gempa berebut pembagian logistik yang diangkut menggunakan helikopter di Kecamatan Sirenja, Palu, Sulawesi Tengah, Ahad (7/10).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Bencana yang melanda sejumlah wilayah di Indonesia beberapa waktu terakhir mengingatkan akan pentingnya pendidikan mitigasi bencana. Diharapkan, pendidikan ini masuk dalam kurikulum pendidikan nasional.

Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan bila bencana alam terjadi, biasanya banyak fasilitas pendidikan, baik sekolah maupun madrasah, yang mengalami kerusakan. Retno berharap pemerintah siap menghadapi kemungkinan tersebut, salah satunya dengan menerapkan kurikulum sekolah darurat.

"Oleh karena itu, masyarakat dan pemerintah diharapkan memiliki kesiapan menghadapi bencana yang bisa terjadi sewaktu-waktu, termasuk menyiapkan sekolah darurat dan kurikulum sekolah darurat di wilayah terdampak bencana seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, dan lain-lain," kata Retno belum lama ini.

Sementara, peneliti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Ahmad Taufiq mengatakan,  Indonesia bisa mencontoh Jepang yang bisa menghadapi bencana gempa, tsunami, topan, hingga banjir dengan beberapa cara. Salah satunya menerapkan kebijakan kurikulum pelajaran bencana sejak anak-anak di Jepang duduk di bangku taman kanak-kanak (TK).

Pria yang pernah menempuh studi doktor di Jepang itu menceritakan pengalamannya menjadi survivor dan pengungsi saat terjadi bencana gempa bumi 7 skala richter (SR) di Jepang. Selama dua bulan menjadi pengungsi di negara itu, Ahmad mengaku, melihat sendiri bagaimana Jepang sangat komprehensif menangani bencana, termasuk gempa dan tsunami.

"Negara itu sudah komprehensif penangannya. Mulai dari pelajaran bencana jadi kurikulum, kebijakan tata ruangnya, hingga teknologi bangunannya," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (3/10).

Dikatakan Ahmad, Jepang yang sering terjadi gempa dan tsunami membuat negara ini memiliki kurikulum pelajaran bencana. Yaitu gempa, tsunami, gunung api, hingga banjir sejak bangku TK.

Di pelajaran itu, kata dia, murid-murid Jepang diajari pelatihan evakuasi bencana di kelas-kelas. Sehingga, begitu gempa skala besar hingga 7 SR mengguncang, masyarakatnya segera membawa tas dan menuju ke shelter dengan kondisi tenang.

Kondisi itu berbeda dengan Indonesia yang begitu terjadi gempa masih panik. Atau sesudah gempa kekuatan besar dan ancaman tsunami ada, masyarakat Indonesia bukannya mencari tempat tinggi tetapi justru tidak lari. "Jadi pemerintah wajib memasukkan pelajaran bencana jadi kurikulum," ujarnya.

Kebijakan kedua, kata Ahmad, wilayah yang dekat sesar gempa aktif atau tsunami, harus ada rute escape way untuk melarikan diri ketika terjadi bencana. Dia menyebut, Jepang sudah memasang escape way berupa petunjuk arah dan tanda kemana masyarakat harus berlari ketika bencana terjadi. Pria lulusan Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) itu mendesak pemerintah segera memilikinya karena harganya tidak mahal.

Kebijakan ketiga, kata dia, negeri matahari terbit telah menyediakan shelter bangunan yang aman ketika bencana terjadi. Ahmad mengenang saat tengah berada di negeri sakura itu dan terjadi gempa. Dia segera ke tanah lapang dan kemudian menuju ke gedung olahraga basket sebagai shelter.

photo
Dugaan penyebab tsunami di Teluk Palu.

Tak sembarangan shelter, dia menyebut, tempat itu memiliki alat lengkap. Mulai dari adanya listriknya, genset, air dari tanah, gas dan semua perlengkapan termasuk ransum, kasur, hingga selimut sudah disiapkan.

"(Alat dan perlengkapan) itu bisa untuk tiga hari sampai sepekan. Jadi kami aman di situ," ujarnya. 

Tak hanya alat dan perlengkapan, Jepang juga telah membangun rumah-rumahnya tahan gempa hingga kekuatan 5 skala richter (SR). Karenannya, dia memuji infrastruktur dan perlengkapan yang dimiliki Jepang dalam memghadapi bencana yang sudah independen.

Keempat, pemerintah Jepang sudah mengetahui jika tanah yang rawan likuifaksi seperti di Sulawesi Tengah (Sulteng) atau wilayah yang dekat sesar gempa, tidak dihuni dan memilih dijadikan taman atau persawahan. Ini berbeda dengan pemerintah Indonesia yang masih belum menerapkannya. "Padahal pemetaan sudah dilakukan tetapi pemerintah Indonesia tidak bisa membaca," katanya.

Pun halnya kesenjangan antara kalangan sains mengerti gempa, tapi masyarakat sepertinya bersikap cuek menghadapi bencana. Bahkan alat pengukur tsunami dan indikator gempa milik BMKG juga dirusak.

Masyarakat juga tidak tahu harus lari kemana ketika bencana terjadi. "Itu kan ada gap luar biasa," katanya. Karena itu, dia mendesak pemerintah Indonesia bisa menjadikan Jepang sebagai contoh menghadapi bencana. Kalau Indonesia mengerti dan berhasil menerapkannya, efek gempa dan tsunami bisa diminimalisasi karena di Jepang sudah terbukti. "Kebijakan Jepang (menghadapi bencana) bisa meminimalisasi banyak korban," ujarnya.

Baca juga: Korban Likuifaksi Palu Bisa Mencapai 5.000-an

Baca juga: Minta Maaf atas Kasus Ratna, Prabowo: Saya Bertanggung Jawab

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement