Senin 08 Oct 2018 13:11 WIB

Tenun Watubo, Daya Tarik Wastra Nusantara di IMF-WB 2018

Salah satu karya paling diminati adalah tenun ikat dari Desa Watublapi, Flores, NTT

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Esthi Maharani
Tenun Watubo dari Flores dengan pewarna alami menjadi daya tarik wastra Nusantara di Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) - Bank Dunia (World Bank) 2018 Bali.
Foto: Mutia Ramadhani / Republika
Tenun Watubo dari Flores dengan pewarna alami menjadi daya tarik wastra Nusantara di Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) - Bank Dunia (World Bank) 2018 Bali.

REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Kain tradisional atau wastra Nusantara menjadi daya tarik tersendiri di Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) - Bank Dunia (World Bank) 2018 Bali. Peserta dan delegasi bisa menemukannya di pameran seni dan kerajinan Paviliun Indonesia yang berlokasi di area Hotel Westin, Nusa Dua.

Salah satu karya paling diminati peserta dan delegasi adalah tenun ikat dari Desa Watublapi, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) milik Kelompok Tenun Watubo. Tenun ini populer karena seluruh pengrajinnya menggunakan bahan pewarna alami untuk memproduksi kain-kain tenun.

"Pewarna alami telah kami gunakan sejak 10-15 tahun lalu," kata pendiri Kelompok Tenun Watubo, Rosvita dijumpai Republika.co.id, Senin (8/10).

Wanita yang akrab disapa Kak Ros ini bercerita tenun Watubo diwariskan dari generasi tua kepada generasi muda Desa Watublapi. Saat ini ada dua kelompok pengrajin tenun di Watublapi yang beranggotakan lebih dari 60 orang.

Mereka terdiri dari anak-anak muda, dewasa, hingga dewasa tua. Kain tenun yang dihasilkan bukan hanya untuk pakaian sehari-hari, namun juga busana adat dengan harga cukup variatif, mulai dari Rp 200 ribu hingga lima juta rupiah. Selembar kain tenun sepanjang tiga meter dan lebar 80 centimeter (cm) dikerjakan dalam waktu tiga bulan.

Pengrajin tenun Watubo tetap setia menggunakan pewarna alami meski proses pengerjaannya lebih lama dibanding memakai pewarna kimia atau sintetis. Kak Ros mengatakan tak jarang wisatawan mempertanyakan harga kain tenun Desa Watublapi yang mahal.

"Kami sarankan jika mereka mencari tenun lebih murah atau sitentis, ada di luar Desa Watublapi," katanya.

Diakui Kak Ros, dukungan pemerintah daerah dan swasta sangat membantu menghidupkan perekonomian pengrajin lokal. Kelompok Tenun Watubo sering mengikuti berbagai pameran, hingga promosi lewat media sosial. Omset kelompok pengrajin perbulannya berkisar Rp 50-100 juta.

Kak Ros berharap tenun Watubo juga bisa dikenal dunia lewat pertemuan tahunan ini. Lewat sanggar seni yang didirikannya, Kak Ros berkomitmen terus mengajarkan keterampilan tenun tradisional kepada generasi muda Desa Watublapi, mulai dari tingkat sekolah dasar. Tak jarang anak-anak desa di Kecamatan Hewokloang itu sudah bisa menenun sendiri, bahkan menjual hasil tenunnya.

Wisatawan bisa lebih mengenal tenun Watubo dengan menginap di homestay-homestay milik penduduk lokal. Di sana pengunjung bisa belajar mengenal lingkungan Watublapi, cara menggunakan alat tenun tradisional, proses pengerjaan kain, dan mengetahui mengapa harga kain tenun yang dihasilkan dari pewarna alami harganya lebih mahal dari pewarna sitentis.

Desa Watublapi saat ini tengah dipersiapkan menjadi kampung wisata oleh pemerintah daerah setempat. Atraksi wisata lain tak kalah menarik, mulai dari wisata kuliner, tarian, dan peninggalan sejarah sejak zaman penjajahan Portugis di NTT.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement