Ahad 07 Oct 2018 10:27 WIB

Jadi Nebengers Selama di Palu

Roda perekonomian di Palu belum berjalan seperti sediakala

Foto udara pascagempa dan tsunami di kota Palu, Sulawesi Tengah.
Foto: Republika TV/Fakhtar Khairon Lubis
Foto udara pascagempa dan tsunami di kota Palu, Sulawesi Tengah.

REPUBLIKA.CO.ID, Laporan wartawan Republika, Fauziah Mursid dari Palu.

Gempa berkekuatan 7,4 skala richter sepekan lalu melumpuhkan Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala dan sekitarnya. Betapa tidak, gempa yang disertai gelombang tsunami dan juga likuifaksi (pencairan) tanah itu, meluluhlantakkan sebagian wilayah tersebut.

Palu dan sekitarnya bagai kota mati sesaat setelah gempa, masyarakat menyelamatkan diri dan keluarganya, mencari sanak saudara, maupun mengungsi ke tempat lebih aman. Bahkan banyak juga yang hendak keluar Palu, karena gempa susulan berturut-turut menggoyang Palu dan sekitarnya.

Roda perekonomian di Palu tak berjalan, listrik terputus karena gempa. Sementara pasokan bahan bakar minyak (BBM) terhenti yang menyebabkan transportasi di Palu sangat sulit di pekan pertama pasca gempa.

Ini juga yang dirasakan pada pewarta/ jurnalis yang bertugas meliput di wilayah Palu, Sigi, dan Donggala yang kebanyakan berasal dari luar kota Palu. Tidak ada angkutan umum, jika ada kendaraan pun, namun tidak ada bahan bakar.

photo
Ratusan jerigen milik warga berjejer di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) 74.942.02 di Jalan Imam Bonjol, Palu Baru, Kota Palu, Sulawesi Tengah pada Jumat (5/10). Banyak warga yang mengantre sejak Kamis (4/10) untuk membeli bahan bakar minyak jenis premium di SPBU tersebut. Pada Jumat (5/10) sore warga yang mengantre sejak kemarin baru mendapatkan premium.

Keadaan ini tidak membuat pewarta pun menyerah untuk menyiarkan informasi musibah dahsyat yang terjadi di Palu tersebut agar masyarakat di luar Palu mengetahui kondisi Palu dan sekitarnya. Sulitnya transportasi pun tidak sebanding dengan kesulitan yang dirasakan warga yang menjadi korban gempa dan tsunami maupun likuifaksi.

Tidak sedikit pewarta yang berjalan kaki dengan jarak yang cukup jauh demi menembus lokasi musibah bencana. Tiga hari pertama setelah gempa itu, tidak ada kendaraan, jarang sekali, kita ke lokasi untuk liputan itu jalan kaki hampir sejam," ujar Attar, pewarta salah satu media nasional.

Namun tak jarang juga, pewarta yang memanfaatkan kebaikan hati pengendara yang kebetulan searah dengan lokasi bencana. "Kalau kendaraan lewat, kita minta tolong ikut nebeng, sambung-sambung saja," ujar Taufik, pewarta media nasional.

Kebaikan hati masyarakat Palu

Meski tengah dilanda musibah, namun tidak mengurangi kemurahan hati sebagian masyarakat. Ini juga yang saya rasakan saat ditugaskan meliput kondisi Palu dan sekitarnya sejak Rabu (3/10) kemarin. Belum tergambar di benak saya setelah saya tiba di Bandara Mutiara Sis Aljufri menuju kota Palu.

Bersama dua orang rekan pewarta lain, saya mencari seseorang yang juga satu tujuan menuju pusat kota Palu. Beruntung, saya bertemu dengan Pak Suwandi, warga Jalan Garuda Kota Palu yang bersedia memberi kami tumpangan ke Kota Palu.

Tak hanya diantar ke kota, Pak Suwandi bahkan mengajak kami singgah ke rumah, tempat ia mengungsi bersama keluarga. Rumahnya, memang tidak terlalu terdampak gempa, namun ia dan keluarga memilih mengungsi di tenda jika terjadi gempa susulan.

photo
Sejumlah warga beraktivitas di tenda pengungsian di Lapangan Vatulemo, Sulawesi Tengah, Senin (1/10).

Di tenda yang letaknya tepat di depan rumahnya itu pun, kami disuguhi makan dan minum bersama. Suasana hangat pun kami rasakan meskipun dalam situasi duka pasca bencana gempa.

"Disini transportasinya masih susah, daripada jalan kaki sambung-sambung, lagian tujuan kalian dekat ini dengan rumah saya, jangan sungkan kalau nanti ke rumah," kata Suwandi menawarkan.

Lanjut di hari berikutnya, saya dan para pewarta media lainnya juga kembali mengandalkan kebaikan warga setempat. Adalah Rokhim, yang kini bersedia mengantar kami meliput bencana di luar kota Palu.

Rokhim yang rumahnya juga tidak begitu terdampak gempa, mengaku ingin mengantar kami karena juga ingin melihat lokasi bencana bersama para jurnalis. Padahal wilayah tujuan kami adalah Sigi dan Donggala yang lokasinya berada cukup jauh dari kota.

"Sekalian liat lokasi, bareng kalian para wartawan, saya mau liputan juga, liputan pribadi," kata Rokhim yang juga kader salah satu partai tersebut.

Di hari Jumat (5/10) atau tepat sepekan pascabencana, kami juga masih mengandalkan tumpangan kendaraan masyarakat yang lalu lalang di Kota Palu. Kali ini saya dan teman pewarta lainnya, hendak bertanya lokasi Majelis Zikir Nurul Khairat yang akan dikunjungi Wakil Presiden Jusuf Kalla saat meninjau Kota Palu.

photo
Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla saat mengunjungi korban terdampak gempa dan tsunami di Palu.

Ternyata lokasinya berada cukup jauh, di atas perbukitan Kota Palu. Mungkin karena iba melihat kami yang sedikit kecewa karena lokasi tidak dekat, seorang bapak yang kami lupa untuk bertanya namanya tersebut memberhentikan dua pengendara sepeda motor.

Kebetulan dua pengendara tersebut, juga kerabat bapak yang menolong kami tersebut. "Kau antar ya mas dan mbak ini ke atas, ke tempat Habib," ujar Bapak itu kepada dua pengendara motor tersebut.

Begitu pun keesokan harinya, saat kami berjalan hendak meliput kegiatan di Bandara Mutiara Sis Aljufri, tiba-tiba dihampiri sebuah mobil pick up terbuka. "Mau kemana mas, naik aja, panas kalau jalan," ujar Arifin, pengemudi mobil tersebut.

Kami pun naik, meskipun tujuan mobil tersebut bukan ke arah Bandara Mutiara Sis Aljufri, arah tujuan kami. Namun ternyata, pengemudi, Mas Arifin berinisiatif mengantarkan sampai bandara. Lagi, lagi, rasa syukur tak henti-hentinya saya ucapkan atas kemudahan saat meliput tugas kemanusiaan di Palu.

Alhamdulilah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement