Rabu 03 Oct 2018 16:47 WIB

Cerita Warga Soal Gempa dan Alasan Meninggalkan Palu

'Setiap ketemu orang di jalan mereka bilang mau pergi untuk menghilangkan trauma.'

Rep: Dedy Darmawan Nasution / Red: Ratna Puspita
Foto udara kota Palu pascagempa dan tsunami.
Foto: Republika TV/Fakhtar Khairon Lubis
Foto udara kota Palu pascagempa dan tsunami.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Wiyatie Wulandhari (22 tahun) menjadi saksi atas kejadian gempa berkekuatan magnitudo 7,4 di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, Jumat (28/9) pekan lalu. Sore hari itu, gempa dan tsunami mengubah keadaan mencekam dan membuat semua warga panik.

Wiyatie menceritakan ketika kejadian ia berada di dalam rumahnya di Kota Palu. Pada pukul 17.02, Wiyatie merasakan guncangan gempa yang sangat kuat.

“Saking kencangnya sampai tidak bisa jalan. Jadi, keluar rumah sambil merangkak,” kata dia kepada Republika.co.id, Rabu (3/10) pagi.

Setelah merangkak keluar rumah, ia pun bergegas menuju kebun jagung tepat di samping rumahnya. Kebun itu adalah tempat pertama yang ia nilai paling aman karena lapang dan tak ada bangunan tinggi. 

Gempa sore itu meninggalkan trauma bagi Wiyatie. Pascagempa, rentetan gempa susulan masih berlangsung. Ia dan keluarga pun memilih untuk mengungsi di samping rumah ketimbang tinggal di pengungsian. 

photo
Presiden Joko Widodo mengunjungi lokasi yang rusak akibat gempa di kawasan Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (3/10). (Antara)

Pilihan tersbeut meninggalkan konsekwensi. Wiyatie tak mendapat bantuan logistik karena saat itu bantuan difokuskan untuk para warga di tenda-tenda pengungsian.

Lima hari pascagempa berkekuatan magnitudo 7,4 dan tsunami, trauma semakin dalam seiring gempa susulan yang masih sering terjadi di Palu. Setidaknya, warga merasakan gempa susulan hingga lima kali sehari. 

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, hingga Rabu (3/10) pukul 06.00 WIB, telah terjadi gempa susulan sebanyak 309 kali. Berdasarkan data yang dirilis oleh BMKG, kekuatan magnitudo gempa susulan berkisar 3-5.

Meski dalam skala kecil, rentetan gempa susulan selalu mengingatkan warga pada gempa 7,4 SR kala sore itu. Menurut Wiyatie, gempa susulan sering terjadi pada saat malam hari. 

Gempa-gempa itu membuat sebagian warga Palu pun memilih meninggalkan wilayah tersebut. Tidak termasuk Wiyatie yang memilih keluar dari Palu dan menuju Kota Makassar. 

“Meskipun gempanya kecil, kami semua trauma. Setiap ketemu orang di jalan mereka bilang mau pergi untuk menghilangkan trauma,” kata Wiyatie.

Baca Juga: Mengevakuasi Ribuan Warga Palu Lewat Laut dan Udara

Wiyatie mengaku menuju Makassar untuk tinggal di rumah mertua. Sedangkan rumah di Palu untuk sementara tidak ditinggali demi mendapatkan rasa aman sembari menghilangkan trauma.

Wiyatie beserta keluarga akan kembali ke Palu jika listrik sudah pulih dan persediaan BBM tak lagi langka. Intinya, ia berani kembali ke Palu jika kondisi sudah normal.

Kendati demikian, Wiyati melihat tak sedikit juga yang tetap memilih bertahan di lokasi pengungsian. Bukan karena mereka merasa aman, tetapi tak bisa.

Ada keterbatasan akses transportasi serta uang yang dipegang. “Banyak yang pengen pergi, tetapi nggak ada transportasi sama biaya,” ujarnya menambahkan.

Wiyatie pun menceritakan kondisi pascagempa pekan lalu. Dua hari pascagempa, ia mendengar kabar penjarahan oleh masyarakat. Sebagian warga terekam sedang mengambil makanan dan minuman dari toko-toko di bandara hingga ritel yang terdampak gempa. 

photo
Sebanyak 346 personel TNI-Polri berhasil mensterilkan Bandara Mutiara Sis Al-Jufri dari kerumunan para pengungsi yang ingin keluar dari kota Palu, Sulawesi Tengah, pada Selasa (2/10). (Antara)

Wiyatie menuturkan, mereka yang mengambil makanan dan minuman adalah warga yang rumah benar-benar hancur pascagempa dan tsunami. Mereka, lanjut Wiyatie, tidak lagi memiliki persediaan.

Saat itu, ia menerangkan, pedagang dan pasar berangsur aktif kembali. Hanya saja, barang yang dijual adalah stok lama dan dengan harga yang lebih tinggi. 

“Stok makanan sudah mulai banyak. Sepanjang perjalanan ke Makassar saya sudah lihat truk-truk pengangkut sembako menuju Palu.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, hingga pukul 13.00 WIB, ada 1.407 korban meninggal dunia. Jumlah pengungsi daerah terdampak gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah mencapai 70.821 orang. 

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, para pengungsi berada di 141 titik per Rabu (3/10) pukul 13.00 WIB. "Jumlah orang mengungsi 70.821 orang yang tersebar di 141 titik," ujar dia di Graha BNPB, Jakarta Timur, Rabu (3/10).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement