REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Perencanaan Korporat PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Syofvie Rukman mengatakan bencana gempa dan tsunami yang terjadi di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah (Sulteng) merupakan kejadian yang dampaknya paling fatal bagi PLN. Syofvie mengatakan, kerugian dan kerusakan yang harus diterima oleh PLN kali ini jauh lebih parah daripada bencana yang sebelum sebelumnya pernah terjadi.
"Jadi PLN mengalami kerusakan instalasi paling parah kali ini jika dibandingkan dengan kasus Aceh, kemarin Lombok. Ini yang paling fatal buat kami," ujar Syofvie saat ditemui di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Selasa (2/10).
Syofvie menjelaskan, kerusakan fatal mengakibatkan rusaknya lima dari tujuh gardu induk yang ada di lokasi. Hal ini mengakibatkan Donggala dan sebagian Poso sempat mengalami blackout. Kerusakan gardu induk juga akhirnya menghambat pasokan listrik yang masuk dari pembangkit.
Tak hanya gardu induk kata Syofvie, dua PLTU yang ada di Poso juga harus terkena dampak karena turbin dan beberapa komponen ada yang pecah. Hal ini mengharuskan PLN memasok listrik dari PLTU lain. Padahal, disatu sisi gardu induk yang ada tidak semua bisa menampung pasokan.
Untuk pemulihan jangka pendek, setidaknya PLN perlu mengirimkan alat bernama IBT semacam travo yang khusus beperan untuk menggantikan fungsi gardu induk. Nantinya, melalui IBT ini, PLN baru bisa membawa arus listrik yang ada masuk ke kota kota.
"Kendalanya sekarang IBT kita di sana dari 150 ke 70 itu bermasalah lagi dicek sekarang. Nah itu kendala terbesarnya," ujar Syofvie.
Selain itu, kata Syofvie, PLN juga menyiapkan genset untuk bisa membantu penerangan sementara. Kata Syofvie PLN mentargetkan ada 90 genset yang akan dikirim oleh PLN ke Palu.
"Kita sudah kirim 12 di awal kemarin. Lalu hari ini bertahap kita kirim lagi 70. Lewat kapal, darat juga Hercules," kata Syofvie.