REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA, – Pengembangan koleksi fesyen yang menekankan pada daya tahan dan fungsi menjadi strategi utama Lewis Emma dalam menghadapi tantangan fenomena thrifting yang dinilai merugikan UMKM. Hal ini diungkapkan oleh pemilik jenama fesyen lokal tersebut, Finna Fidela, di kantor pusatnya di kawasan Kedoya, Jakarta Barat, Jumat.
Finna menyatakan bahwa kualitas dan ketahanan bahan merupakan pertahanan terbaik melawan produk fast fashion yang murah dan mudah rusak di lokapasar. Awalnya memproduksi pakaian untuk anak usia 2-10 tahun, Lewis Emma kini memperluas rentang usia menjadi 6 bulan hingga 14 tahun untuk memenuhi permintaan pelanggan yang menginginkan kualitas serupa dalam berbagai ukuran anak mereka.
Untuk menjaga relevansi di pasar, Lewis Emma berkomitmen meluncurkan koleksi baru secara konsisten, minimal satu kali setiap bulan. Kebijakan purnajual yang tegas juga diterapkan untuk meminimalisir ketidakpuasan konsumen terkait risiko ketidaksesuaian produk.
"Dalam sistem online, kebijakan pengembalian yang jelas dan mudah diperlukan untuk meyakinkan konsumen agar tidak ragu berbelanja produk di lokapasar," ujar Finna. Layanan pelanggan yang efisien dinilai krusial untuk membangun rating toko dan retensi pembeli dalam ekosistem e-commerce.
Kebijakan customer oriented diterapkan dengan menyediakan fasilitas penukaran ukuran atau warna secara fleksibel, bahkan di luar mekanisme standar lokapasar melalui prosedur penukaran manual. Hal ini untuk merespons kekhawatiran umum pembeli online mengenai risiko ukuran yang tidak pas.
Strategi ini turut mendorong tingginya angka repeat order (pembelian ulang). Keberadaan toko offline, seperti di Kokas, juga berfungsi sebagai bukti kredibilitas merek dan mempermudah layanan purnajual bagi konsumen yang ingin menukar barang secara langsung.
Lebih lanjut, Lewis Emma menekankan pentingnya respons cepat dalam setiap komunikasi dengan pelanggan untuk menjaga rating toko agar tetap di bintang lima.
Konten ini diolah dengan bantuan AI.
Ikuti Whatsapp Channel Republika