Selasa 02 Oct 2018 06:19 WIB

Jurus Cina Membalas AS

Cina sulit membalas AS dengan pengenaan tarif impor produk Amerika

Trump mengumbar sanksi ekonomi dan perang dagang.
Foto: republika
Trump mengumbar sanksi ekonomi dan perang dagang.

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ronny P Sasmita, Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia (EconAct)

Pemerintahan Presiden AS Donald Trump memperluas dimensi perang dagang di luar kebijakan tarif, yaitu pembatasan investasi dan ekspor untuk menghalangi akses Cina terhadap teknologi AS.

Sampai hari ini, penyelesaian melalui negosiasi antara Beijing dan Washington masih buntu tatkala AS menuntut Cina meninggalkan kebijakan industrinya, Made In Tiongkok 2025. Cina pun tampaknya tak hendak tunduk pada keinginan AS.

Sebab, kebijakan industri yang telah ditetapkan itu sangat mendasar bagi keamanan nasional dan strategi pembangunan Cina. Di sini, kita bisa melihat perbedaan sudut pandang kedua pihak.

Ketika Cina menginginkan keberlanjutan globalisasi, sebaliknya AS malah memilih isolasi. Secara politik, Presiden Cina Xi Jinping mesti merespons dengan kebijakan tepat atas setiap tindakan AS.

Menurut perumus kebijakan di Beijing, Trump sengaja mengambil sikap untuk mendominasi Cina dan tidak mencari kesepakatan yang setara. Jadi, Beijing harus menyikapi dengan lebih tegas ketimbang harus memberikan konsesi kepada AS.

Dilaporkan baru-baru ini, Presiden Xi memanggil para CEO perusahaan global dan menyampaikan niatan Cina melakukan serangan balik terhadap pembatasan investasi dan ekspor strategis dari AS.

Sejauh ini, Beijing membalas pengenaan tarif dengan nilai yang sama dengan yang dikenakan AS terhadap produk Cina. Namun, kalau perang ini kian membesar, Beijing mungkin tidak mampu lagi mengenakan tarif produk AS berikutnya.

Terlihat pada 2017, AS mengimpor produk Cina senilai 500 miliar dolar AS, sedangkan Cina hanya mengimpor produk dari AS senilai 155 miliar dolar AS.

Karena itu, target Beijing berikutnya yang sangat mungkin adalah mengganjal penjualan perusahaan multinasional AS yang beroperasi di Cina. Diperkirakan total penjualan perusahaan AS di Cina pada 2015 senilai 481 miliar dolar AS.

Pada 2018, nilainya diperkirakan lebih dari 500 miliar dolar AS. Cina mengklaim, mengganjal bisnis perusahaan AS di Cina adalah strategi tepat. Cina telah mengidentifikasi kebijakan nontarif yang dapat membatasi investasi dan akses perusahaan AS di Cina.

Sejatinya, ada banyak alternatif instrumen kebijakan yang dapat digunakan Beijing untuk membalas Washington. Pada konflik perekonomian sebelumnya, Cina sering menggunakan strategi ofensif daripada defensif.

Misalnya, beberapa waktu lalu, terkait konflik ekonomi, Cina melakukan pembatasan perdagangan dan arus wisata ke Jepang, Norwegia, Filipina, Taiwan, dan Mongolia. Karena skala ekonomi mereka kecil, biaya perekonomian Cina sangat minimal.

Namun, menghadapi AS, Cina harus cermat berhitung karena dampak ekonominya sangat besar. Dan Trump, jelas berniat memperbesar eskalasi perang dagangnya dengan Cina. Misalnya, jika Cina sengaja tidak mengenakan tarif pada Boeing.

Melakukan revisi kontrak jangka panjang dengan Boeing tentu sangat menguras biaya, merusak, dan melemahkan daya tawar Cina dengan Airbus. Jadi, target pembalasan Cina adalah produk AS yang sedikit konsekuensi ekonominya dan dapat digantikan perusahaan lain.

Salah satu target yang mudah adalah Hollywood karena Cina adalah pasar besar dan menggiurkan bagi produsen perfilman AS. Beijing menginstruksikan dua BUMN distributor film untuk menghentikan atau menunda distribusi film AS.

Mereka juga memerintahkan perusahaan video untuk menghentikan kontrak saluran serial TV AS. Beijing dapat juga melakukan pengetatan sensor film yang masuk ke Cina. Lalu, perusahaan farmasi AS adalah target Beijing lainnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement