Jumat 28 Sep 2018 20:36 WIB

Amnesty Minta Politisasi Film G-30 S/PKI Dihentikan

Warga dinilai tak boleh dipaksa untuk menonton film tersebut.

Pengkhianatan G30S/PKI
Foto: Republika/Mardiah
Pengkhianatan G30S/PKI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, politisasi film Pengkhianatan G-30-S/PKI harus dihentikan, baik oleh elite politik maupun TNI. Pilihan menonton atau tidak film itu adalah hak warga.

"Pilihan untuk menonton bareng atau tidak film tersebut adalah hak setiap warga. TNI seharusnya tidak dipaksa mengambil tindakan yang rawan disalahgunakan oleh kelompok elite politik tertentu," kata Usman Hamid dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Jumat (28/9).

Menurut dia, mempersoalkan sikap Panglima TNI dan KSAD dengan kesan seolah-olah takut dan membuat prajurit menjadi penakut jika tidak memerintahkan nonton bareng film G-30-S/PKI adalah upaya politisasi TNI.

Bahkan, semasa Panglima TNI Gatot Nurmantyo ada kelompok masyarakat yang terpengaruh oleh isu ini sehingga terlibat aksi penyerangan dan perusakan kantor Yayasan LBH Indonesia. "Ini adalah intimidasi terhadap pembela HAM," kata Usman.

Pada era Presiden B.J. Habibie, Mendikbud Juwono Sudarsono membentuk tim khusus untuk meninjau ulang seluruh buku sejarah dalam versi G-30-S/PKI.

Menteri Penerangan Letnan Jenderal (Purn.) Yunus Yosfiah pun mengakhiri keharusan pemutaran tahunan film "Pengkhianatan G-30-S/PKI" yang diproduksi tahun 1981 itu.

"Ini adalah bukti bahwa sejarah peristiwa 30 September 1965 ditinjau ulang dan direvisi oleh Pemerintah," kata Usman.

Jadi, kata Usman, adalah hak setiap orang apakah mau menonton film G-30-S/PKI atau merujuk film dan literatur lainnya.

Ia pun merujuk survei nasional SMRC 2017 dan 2018 yang menemukan bahwa mayoritas warga, 86 persen tidak setuju bahwa PKI sedang bangkit. Yang setuju hanya 12 persen.

"Jadi, sebenarnya isu anti-PKI ini kecil tetapi dibesar-besarkan untuk membela kepentingan elite-elite yang membesar-besarkannya, menyudutkan korban dan penyintas 1965, bahkan membungkam aksi aktivis, dosen, dan petani yang tengah memperjuangkan hak-hak dasar mereka," kata Usman.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement