Jumat 28 Sep 2018 06:54 WIB

BPJS Kesehatan Sebut Ketentuan Rujukan Online untuk Penataan

Ketentuan itu untuk penataan uang negara maupun iuran peserta JKN-KIS.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Gita Amanda
BPJS Kesehatan.
Foto: ANTARA FOTO
BPJS Kesehatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan angkat bicara mengenai surat Wali Kota Surabaya soal ketentuan baru rujukan online. Menurut BPJS ketentuan tersebut untuk penataan uang negara maupun iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang terkumpul.

Kepala Humas BPJS Kesehatan, M Iqbal Anas Ma'ruf, mengatakan dana JKN-KIS terdiri dari komposisi uang milik Negara harus dijaga dan ditata lebih efisien. "Selain itu, ini terkait upaya mencukupkan iuran peserta JKN-KIS yang sudah dikumpulkan. Jadi, pembiayaan JKN-KIS kalau terlalu berlebihan tidaklah baik," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (27/9).

Lagipula ia mempertanyakan apa bedanya kalau peserta JKN-KIS dilayani di dokter spesialis rumah sakit (RS) kelas C atau di RS kelas B? Padahal kompetensinya sama.

Sebab, kata dia, yang menjaga kualitas itu dari pihak RS dan organisasi profesi. Kendati demikian, ia menegaskan BPJS Kesehatan tidak menutup mata kalau mungkin peserta JKN-KIS merasa tidak nyaman dengan aturan baru itu.

Apalagi di peraturan menteri kesehatan (Permenkes) 1 tahun 2012 kaitan dengan rujukan perorangan memang mensyaratkan untuk bisa dilayani. Karena itu, kata dia, dengan adanya data dari P-Care di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) langsung terkoneksi ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) langsung bisa mengetahui jika kuota peserta JKN-KIS di RS kelas C atau D sudah 80 persen terisi, maka sistem itu langsung mengetahui dan si peserta langsung dirujuk ke fasilitas kesehatan kelas B.

"Jadi kami juga tidak tunggu sampai kuota peserta penuh 100 persen. Ada peringatan kalau kuota sudah 80 persen terisi, ya, langsung rujukan ke RS kelas B muncul," katanya.

Ia menambahkan,  uji coba rujukan online ini sampai 30 September 2018. Uji coba ini, kata dia, untuk pemetaan fasilitas kesehatan dan upaya semua peserta mendapat akses pelayanan kesehatan. Setelah itu, BPJS Kesehatan akan melakukan evaluasi kemudian data dan fakta itu dianalisis yang benar sehingga bisa memutuskan kebijakan.

"Kemudian bisa diimplementasikan," ujarnya.

Sebelumnya Tri Rismaharini telah menyurati Kementerian Kesehatan dan Direktur Utama BPJS Kesehatan agar meninjau ulang mekanisme pelayanan rujuk. "Bu Wali Kota melayangkan surat ke Kemenkes dan Dirut BPJS yang isinya meminta peraturan baru itu ditinjau ulang," kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya Febria Rahmanita, Sabtu (22/9).

Dalam mekanisme sebelumnya, pasien berobat mulai dari fasilitas kesehatan tingkat pertama, yakni puskesmas, klinik maupun dokter praktik swasta kemudian bisa dirujuk ke rumah sakit tipe D, C dan B. Namun, kini mekanismenya harus berjenjang dari rumah sakit tipe D ke C, B dan A. Menurut Febria, peraturan baru itu membuat alur rujukan semakin panjang.

"Di Kota Surabaya ini jumlah rumah sakit tipe D hanya sembilan rumah sakit, tipe C sebanyak 10 rumah sakit, 11 tipe B rumah sakit, dan 2 rumah sakit tipe A yakni RS Dr Soetomo dan RSAL," ujarnya.

Setiap hari, lanjut dia, jumlah pasien yang berobat di puskesmas sekitar 100-400 pasien. Jika dirata-rata, ada 200 pasien per hari yang berobat di 63 puskesmas di Kota Surabaya.

Hal itu berarti ada sekitar 12 ribu hingga 24 ribu pasien yang membutuhkan pelayanan fasilitas kesehatan tingkat satu. Ia khawatir jumlah pasien yang relatif besar itu tidak mampu dilayani rumah sakit tipe D.

"Di (rumah sakit) tipe D jumlah dokter yang menangani penyakit tertentu biasanya 1-2 orang," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement